Saya baru saja membaca artikel dari bu Dewi Puspasari yang baru-baru ini jadi Artikel Utama (AU) di Kompasiana. Artikel tertanggal 20 Juli 2022 itu bisa Anda baca di sini.
Bu Dewi menjelaskan bahwa beliau sekarang ini susah menuntaskan sebuah buku untuk dibaca dan harus dipaksa untuk melakukannya. Berbagai event membaca jadi pilihan dan rasanya jika sudah menyelesaikan satu buku, lega sekali.
Mengapa membaca jadi perlu dipaksa? Karena era sekarang banyak distraksi yang mengalihkan kita dari keasyikan membaca. Dunia maya menyuguhkan begitu banyak layanan yang memanjakan mata dan otak. Sebagian orang lebih memilih atau mungkin tak menyadari terjebak dalam berbagai postingan di internet.
Kalau postingan bermutu sih oke-oke saja ya, menurut saya itu sama saja dengan "membaca". Namun seringnya kita eh saya maksudnya, tergoda untuk menonton suguhan-suguhan humor ringan yang lucu, joged-joged singkat yang asyik, hingga tak terasa waktu berjalan mengakhirkan hari di batas senja.
Wow, apa yang sudah kulakukan seharian - atau selama berjam-jam ini? Sedangkan aku punya sebuah buku untuk dituntaskan baca (yang lagi-lagi terpinggirkan oleh godaan dunia maya), dan punya naskah yang harus diselesaikan untuk ditulis.
Saya totally agree dengan apa yang disampaikan oleh bu Dewi dalam artikelnya. Sayapun demikian. Saya masih mengakui bahwa hobi saya adalah membaca, namun kenyataannya, buku yang sudah saya tuntaskan hingga Juli ini bisa dihitung dengan jari.
Saya bahkan sudah menuliskan target membaca sebagai resolusi di awal tahun lalu, akan membaca dua buku dalam 1 bulan. Namun entah sudah berapa buku yang saya selesaikan (oh ya saya jadi ingat resolusi tersebut, saya akan mengevaluasinya dalam tulisan yang berbeda).
Setali tiga uang dengan membaca, hal menulis pun demikian juga saya kira. Menulis pun harus dipaksa. Hal ini sudah sejak lama saya dengar didengung-dengungkan oleh penulis senior.
Katanya, jika kamu menulis satu halaman saja tiap hari, maka dalam 4 bulan kamu sudah memiliki naskah setebal 120 halaman atau cukup untuk satu buku. Dalam setahun kamu bisa punya 3 naskah buku untuk ditawarkan ke penerbit. Atau tak usah satu halaman. Setengah halaman saja per hari, maka dalam 8 bulan kamu punya satu naskah buku. Dalam dua tahun kamu bisa punya 3 buku. Tapi jika kamu tidak juga memulainya kamu tidak akan memiliki apa-apa bahkan untuk 5 tahun ke depan.
Tapi walau sudah tahu teorinya, saya malah menelantarkan naskah yang sudah saya garap (toyor kepala sendiri).
Saya merenungi, betapa waktu telah terbuang sia-sia (di dunia maya), tanpa hasil yang memadai. Sedangkan akhir waktu kita mungkin tinggal sedikit lagi tanpa kita sadari.
Jika ada yang bertanya, jika tahu waktu sisa sedikit, mengapa harus tetap membaca dan menulis? Sebetulnya apa faedahnya?
Membaca itu memperkaya jiwa kita. Kita bisa tahu berbagai peristiwa, hikmah, opini, ilmu, pengetahuan, bahkan imajinasi. Hasil bacaan yang mengendap di kepala kita, itu harta.