Lagu tema serial Doraemon terdengar tiba-tiba di tengah-tengah hening kantorku. Hening yang nggak nyaman karena semua editor sedang berusaha mengejar deadline pekerjaan, sebelum agenda rapat siang pukul 14.00.
"Aaah, aku sangat butuh kantong ajaib, nanti aku ambil alat ajaib 'mesin yang dapat mengedit sendiriii!' ... dan pekerjaanku akan cepat kelar, dan tidak stress setiap harus setor out put ke bos!" keluh Srini, editor paling muda di kantor.
Lagu Doraemon sukses memecah keheningan karena kemudian terdengar gerutuan dari mulut Ernest dan teriakan senang Klara karena sudah berhasil menyelesaikan tenggatnya.
"Ayo, kita makan dulu. Bekerja terus tidak akan menaikkan performa. Kita tetap butuh makan!" ajak Ernest. Kami bertiga segera mengikutinya ke ruang makan.
Aku, Srini, Ernest, dan Klara adalah empat editor yang bekerja di 'Gema Publishing', sebuah penerbitan buku di Kota Jogja. Kantor kami kecil, hanya berupa rumah tipe 36 yang dirombak sehingga mirip kantor. Ada ruang tamu tempat sekretaris dan bendahara bekerja di sebuah ruangan bersekat yang memisahkan mereka dengan set mebelair untuk tempat duduk tamu.
Satu ruang kamar disulap untuk ruangan editor, dan satu lagi untuk ruangan bos kami. Ada ruang makan dan pantry, dan sebuah ruang semi terbuka untuk rapat dengan meja panjang, juga tentunya dua kamar mandi.
Bos kami bekerjasama dengan percetakan lain untuk proses pembuatan buku. Jadi aktivitas kami di kantor hanyalah memilih naskah layak dari ratusan yang masuk setiap minggunya, mengedit hingga jadi lebih layak jual, lalu mengirim ke percetakan untuk dicetak jadi buku. Urusan penjualan diselesaikan oleh ibu bos yang memiliki kantor di tempat lain lagi.
Salah satu alasan mengapa aku senang bekerja di Gema adalah bosnya sangat memanusiakan kami. Tiap pukul 12.00, lagu Doraemon akan berbunyi tanda waktu istirahat tiba. Makan siang dalam bentuk katering sudah siap di ruang makan. Dan itu bukan katering sembarang katering karena dipesan dari katering 'Ramah-Sehat', milik kakak bos.
Makanannya tiap hari ganti menu, nggak pernah membosankan. Kami digaji hanya dua juta perbulan, tapi dengan fasilitas makan siang mewah, gaji segitu sudah cukup buatku yang masih lajang.
Ernest satu-satunya yang sudah menikah, selain bos. Dia dapat tambahan tunjangan sehingga gajinya lebih tinggi dari kami.