Teman saya (A) berkeluh-kesah tentang status-status whatsapp yang ditulis B, teman saya yang lain. A menganggap status B selalu negatif, membuat orang lain tidak semangat dan terpengaruh pikiran buruk.
Waktu itu saya hanya tertawa kecil dan menyarankan agar A tak membaca status-status B yang telah membuat moodnya ambyar. Tak usah dibaca. Fokus saja pada status yang mencerahkan, memotivasi dan membuat kita jadi lebih baik.
"Ini tak bisa dibiarkan. Kalau B selalu membuat status seperti itu, aku nggak bisa tinggal diam," kata A.
Saya diam saja tak lagi berkata-kata. Saya pikir, A tak serius dengan ucapannya.
Hingga suatu saat A bercerita bahwa ia baru saja adu argumen dengan B melalui chat whatsapp.
"Aku menegur status B yang selalu childish dan penuh kekesalan," demikian cerita A.
"Lalu apa reaksinya?" tanya saya.
"B bertahan pada kengeyelannya. B resisten. Dan paling buruknya lagi, B memblokirku!"
Saya tak tahan untuk tidak tertawa. Ya, mungkin maksud A baik, tapi tetap dapat dikatakan cari-cari masalah. Mengganggu macan tidur. Memprotes sebuah status yang notabene ditulis di akun B sendiri. Saya pikir setiap orang berhak menulis apapun di statusnya, kan?
"Tidak, Mbak," A menolak pendapat saya. "Status B itu terbaca orang lain. Jadi B bisa mempengaruhi orang lain untuk berpikir senegatif dirinya. Kebiasaan buruknya itu harus dihentikan. Dan harus ada yang mengatakannya. Aku yang tidak tahan, menjadi orang pertama yang menegurnya. Biar B tahu apa yang dirasakan orang lain saat membaca statusnya yang negatif," demikian A berapi-api mengutarakan pendapatnya.
"Tapi kan B tidak dapat melihat niat baikmu? Dia menganggap kamu menyerang dia," ucap saya.