Apakah pembaca K pernah mendengar gerakan belanja di warung tetangga? Pasti pernah dong, masak enggak? Gerakan ini menghimbau masyarakat untuk membeli di warung tetangga, menghidupkan perekonomian mikro.
Beli gula, minyak, sabun, nggak perlulah jauh-jauh ke toko ritel besar. Cukup melangkah dua tiga langkah ke warung tetangga. Nggak usah ganti daster juga, cukup 'nyaut' jilbab -- dan masker -- bisa langsung chuzz belanja. Dapat bonus gosip kompleks terbaru pulak ... eeeh bonus obrolan ramah tamah, ding.
Sejak serbuan 'mart-mart' modern masuk hingga ke perumahan penduduk, sejak saat itu pula penjualan di warung-warung kecil turun. Orang lebih suka pergi ke mart yang kebersihannya sudah teruji, barangnya banyak dan bervariasi, sering ada diskon pulak. Baru buka pintu sudah disapa ramah: "Selamat berbelanja di morat maaaart," misalnya.
Contohnya saya ini. Mart kuning cuma beberapa langkah saja dari rumah. Ke sana kan, bisa sambil cuci mata lihat barang-barang diskonan ya, walaupun akhirnya hanya beli susu ultra. Aih, padahal di warung tetangga juga jual susu ultra, nanti kalau pada beli di mart, kasihan susu ultra tetangga -- bisa jadi kadaluwarsa.
Tapi memang itulah yang terjadi, sodara. Di saat para 'mart banting harga jual barang diskonan, saat itu pula barang yang sama meringkuk berbulan-bulan di etalase warung tetangga, hingga warna barang memudar dan tanggal expired berlalu. Kalau sodara lihat hal seperti itu, apa yang terlintas di hati?
Sakit, tau!
Bukan terus menggerutu: "Ih, tetangga ini gimana sih, barang kadaluwarsa masih dipajang aja." Nggak sama sekali. Malahan yang ada rasa bersalah. "Kok, aku malahan beli di 'mart melulu ya, nggak pernah beli di tetanggaku." Gitu ... gituuu, huhuhu.
Pernah nggak berpikir mengapa tetangga buka warung kecil-kecilan di rumahnya? Bukan buat ngisi waktu luang doang, lho. Buat nambah penghasilan? Iya, bisa jadi. Buat satu-satunya penghasilan, bahkan? Sangat bisa. Tapi di luar itu semua, pernah mikir nggak bahwa mereka membuka warung dengan tujuan menyediakan kebutuhan tetangganya yang lain.
"Supaya tetangga aku nggak perlu belanja ke pasar panas-panasan, mending beli di warungku aja," Gitu. Niat setulus itu. Mungkin aja, kan?
Lalu datanglah si 'mart itu berdiri kokoh di tengah-tengah perumahan, bak oase di padang tandus bagi emak-emak yang malas pergi jauh tapi tetep mau ngeksis. Dhuar!
"Ih daripada beli di warung buk Ningsih, barang-barangnya kurang menarik enggak ada yang baru, mending ke mart baru aah."