Lihat ke Halaman Asli

Indah Noing

Maminya Davinci

[Fikber 2] Akhir Mimpi Buruk

Diperbarui: 3 Desember 2015   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Saiful si pendekar biola hitam (Dokpri)"][/caption]

Oleh Indah Noing, no.11

“Sukmaaaa..”
“Bangun nduk !”
Ah suara Mbok Minah mengagetkanku, ternyata ia belum mati, membuatku tersadar bahwa aku baru saja mengalami mimpi buruk lagi, lagi dan lagi, mimpi buruk selalu mengganggu tidurku.
“Sukma, engkau sudah sadar nduk?”
Mbok Minah meraba keningku, kulihat wajahnya pucat dan ada sebuah benjolan besar di keningnya.
“Mbok Minah, apa yang telah terjadi Mbok? Kita ada di mana sekarang?” tanyaku.
“Kita di rumah sakit nduk, tetangga yang semalam membawa kita ke sini. Semalam mereka mendengar suara gaduh dari rumah kita, namun saat mereka masuk ke rumah kita malah menemukan kita dalam posisi pingsan dan rumah berantakan porak poranda,” cerita Mbok Minah.

Ah rupanya aku benar-benar masuk rumah sakit, rupanya aku benar-benar sudah gila sekarang. Perawat yang merawatku malah kubayangkan badannya putus-putus dan usus perutnya terburai-burai keluar. Iiih menjijikan, bagaimana hal seperti itu bisa terjadi di dalam pikiranku?

“Mbok, kenapa jidatmu benjol besar mbok?” tanyaku.
“Ooohh ini, tadi malam kita berdua mengalami hal buruk Sukma, ada rambut yang menggulungmu dan juga mengikat kaki mbok, ternyata itu adalah rambut ib..” Mbok Minah langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya, matanya mendelik memandangku, namun aku pura-pura tak mengerti kata-katanya. Aku sudah tahu jawabnya Mbok, rambut ibuku kan? Ah simbok coba menyembunyikan kenyataan ini.

“Rambut? Rambut siapa Mbok?”
“Ah tidak, lupakan hal itu Sukma, mungkin benjol ini karena jatuh dari tempat tidur saat mbok pingsan. Kurasa engkau mimpi buruk lagi, hingga membuatmu pingsan juga.” Kata-kata Mbok Minah penuh hati-hati sekarang.
Mbok Minah mengambil bubur di atas meja di samping tempat tidurku, lalu disuapinya aku dengan telaten. Ah rasanya tak percaya Mbok Minah yang baik padaku ingin mencelakaiku. Aku memakan tiap suapannya tanpa curiga sedikitpun. Walau bubur itu ada racunnya, aku akan tetap memakannya asal mbok Minah yang menyuapi. Biarlah bila memang aku harus mati di tangannya, toh aku tak punya siapa-siapa lagi.

“Apakah Mbok menyayangiku ?”
“Aah pertanyaan aneh apa itu Sukma? Tentu saja aku menyayangimu, Mbok sudah menganggapmu seperti anakku sendiri, tapii..” Mbok Minah tak melanjutkan kata-katanya.
“Tapi apa Mbok?”
“Tidak papa Sukma. Ayolah makan bubur ini hingga habis. Kita akan berjalan jauh hari ini, kita akan pergi meninggalkan desa ini,” kata Mbok Minah sambil menyuapi aku.

Aku dan Mbok Minah berjalan kaki meninggalkan rumah sakit. Hari itu masih pagi tapi matahari sudah memancarkan sinarnya dengan begitu terik. Perjalanan ini sepertinya memang jauh, Mbok Minah membawa banyak air minum dan juga membeli kembang tujuh rupa yang biasa untuk menyekar kuburan. Apakah kami akan pergi ke kuburan? Entahlah.
Kuikuti saja langkah kaki Mbok Minah, namun aku merasa ada seseorang yang membuntuti perjalanan kami. Tak tahu itu siapa, bayangannya selalu hilang bersama hembusan angin. Aneh hari ini, matahari panas sekali sinarnya, namun angin pun menderu berhembus.
Aku sudah tak tahu di desa mana kami berada. Aku lelah sekali, ingin rasanya aku tidur di gubuk tengah sawah tadi, namun aku merasa jijik. Gubuk itu bau anyir, anyir darah. Di Pematang sawah juga sering kujumpai tulang belulang, entah tulang hewan atau manusia, aku tak tahu. Namun aku tak pernah menjumpai tulang tengkoraknya. Oh jalanannya pun kini licin, penuh lumut yang basah oleh air. Uups ini bukan air, ini darah. Darah apa ini? Darah siapa?

“Mbok, kita mau ke mana Mbok? Kenapa lewat jalan ini Mbok? Jijik aku, aku juga lelah Mbok.”
“Sabarlah Sukma, kita hampir sampai,” sahut Mbok MInah
Hari sudah malam, bulan purnama sempurna telah menampakkan rupanya, warnanya sekarang merah darah, ahh mirip bulan berdarah yang ada dalam mimpi-mimpi burukku.

“Itu dia rumahnya !” seru Mbok Minah, telunjuknya mengarah ke gubuk di pinggir sungai.
“Setelah kita lewati jembatannya itu, kita akan sampai Sukma,” ujar Mbok Minah.
“Rumah siapa Mbok?”
“Kau akan tahu nanti nduk,” sahut Mbok Minah, matanya bersinar, bibirnya penuh senyum kemenangan. Aneh.

Saat melewati jembatan  bamboo itu, aku melihat ke arah sungai di bawahnya. Saat itu pun kulihat air berwarna merah darah, entah karena pantulan cahaya bulan atau memang warna airnya seperti itu. Ada banyak buaya di sana, ahh buaya itu baru memakan sesuatu, mulutnya penuh darah. Aaah kini aku mengerti kenapa banyak kujumpai tulang-tulang sepanjang jalan tadi, kenapa air dan lumut di pematang juga merah darah. Iiiih menjijikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline