Lihat ke Halaman Asli

indah ngr

halo saya indah, selamat datang di laman saya

Kelakuan Bodoh Para Anak Muda

Diperbarui: 3 Oktober 2020   11:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jika saja dulu aku tahu kalau papan iklan layanan masyarakat yang menyuruh seluruh warga di kota ku untuk menutup hidung mereka dengan masker belum juga di lepas sampai saat ini, maka sungguh, aku tidak akan menyeret orang-orang terkasih ku tercebur ke dalam lubang penyakit yang belum juga ada obatnya bahkan sampai sekarang.

Sebagai anak muda yang hidup di zaman  eksis di social media jauh lebih penting daripada masa depan, maka tak heran jika kata 'tongkrongan' atau 'nongkrong' sudah tidak asing di telinga kami. Berkumpul bersama teman, memesan kopi hitam pahit dengan harga yang cukup untuk biaya makan kami seharian, mengobrol bersama, menonton live music dan bernyanyi bersama, bahkan tak jarang ada diantara kami yang bangun dari duduknya dan mulai bergoyang menikmati alunan lagu yang dimainkan oleh sekelompok orang pada saat itu.

"keren" Adalah satu  kata yang ingin kami dapat dari orang-orang disaat kami mengunggah foto status di instagram masing-masing. Sekarang coba bayangkan, di masa pandemi, disaat seluruh kota menjaga habis-habisan agar korban tidak terus bertambah, kami- para anak muda dan mudi berbondong-bondong mengendarai motor ke arah kedai kopi favorit kami lalu dengan santainya bercengkrama tanpa mengindahkan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah.

 Masker dianggap hanya aksesoris jelek yang tidak penting dan selalu tersimpan rapih di dalam tas selempang kami. Hand sanitizer hanya dipakai ketika hendak memakan sepotong roti bakar khas kedai kopi, hanya sebagai syarat, pengganti sabun dan air yang mengalir.

Pulang dari tempat tongkrongan selalu saja larut malam. Biasanya, sudah diancam orang tua, tidak pulang? Siap-siap melihat pemandangan isi lemari yang terhampar di garasi depan. Namun, Khas sekali, sebelum pulang kami selalu saja berswa-foto terlebih dahulu, sengaja menangkap kenangan masa muda di dalam seperangkat telfon genggam.  

Aku ingat sekali malam itu malam minggu ke 3 di bulan juni. Aku, dan kedua temanku berfoto bersama, entah mengapa hari itu aku enggan melepas masker kain murah yang kupakai sejak dari tadi siang. Teman-temanku memaksa ku melepas masker dengan alasan mengurangi nilai estetika, tetapi sekali lagi, aku tidak mau.

Teman-teman ku menyerah, "Terserah kau saja lah." Kata mereka.

Singkat cerita, kami berfoto bersama. Tangan kanan ku membentuk angka dua ala anak seumuran ku jika hendak berfoto, sedangkan dua orang disamping kanan dan kiri ku bergaya dengan dagu diangkat seakan-akan memberikan kesan keren, padahal sama sekali tidak. Saat mendengar seseorang menghitung mundur aku tersenyum gembira dengan posisi dihimpit oleh kedua teman laki-laki ku, tanda akan keakraban. Sungguh, aku sangat amat menyayangi mereka sebagaimana saudaraku sendiri.

Aku tersenyum mengingat malam itu, malam yang sangat amat menyenangkan, malam yang penuh dengan canda tawa, menertawakan hidup seakan-akan tiada hari esok.

Aku mengusap figura foto kami bertiga pada malam itu,  sudah sebulan sejak aku memutuskan mencetak foto kami bertiga, tepat tiga hari setelah kabar duka datang dari kedua teman terkasih ku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline