Lihat ke Halaman Asli

Kisruh Impor Beras Bikin Rindu Era SBY

Diperbarui: 21 September 2018   12:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: Fp Facebook SBY

Kebijakan impor beras menyeret polemik mantan Menko Rizal Ramli dan Mendag Enggartiasto Lukita. Juga berimbas jadi perdebatan Enggar dan Dirut Bulog Budi Waseso. Kisruh ini bikin saya jadi makin rindu sama era SBY.

Gimana enggak! Kisruh beras bikin puyeng kepala seluruh rakyat Indonesia. Apalagi kepalanya para petani yang jumlahnya sekitar 40 jutaan orang itu. Mereka cemas gara-gara impor beras harga bakal anjlok.

Konyolnya, rakyat juga bingung harus menyalahkan siapa. Republik Indonesia kayak diperintah secara auto-pilot. Enggak jelas siapa yang mesti bertanggungjawab. Kisruh dan pemerintahan auto-pilot kayak begini enggak pernah terjadi di era SBY.

Saya ingat benar. Pemerintahan SBY membangun sektor pertanian bukan cuma buat meningkatkan produksi pangan. Tapi juga supaya petani makin sejahtera. SBY enggak sepakat konsep harga pangan semurah-murahnya. SBY mengajak rakyat Indonesia juga memikirkan nasib petani yang sudah bekerja keras.

Jangan sampai petani cuma untung sedikit, sementara kaum pedagang untungnya gede banget. Makanya SBY menerapkan konsep harga yang pas. Pas bagi petani, pas bagi pedagang dan pas bagi rakyat  Indonesia. Ketiga kelompok ini sama-sama dipikirkan di era SBY.

Masalah impor beras, SBY punya rumus paten. Kuncinya jika stock beras sudah nyata-nyata kurang, baru Indonesia impor beras. Pemerintah era SBY juga menghitung waktunya. Soalnya, kalau timing-nya salah, misalnya impor beras saat petani baru panen, bisa-bisa harga anjlok di tingkat petani.

Intinya, sebelum impor beras, SBY pasti mikir bagaimana caranya supaya sedikit mungkin berdampak negatif terhadap petani. Tentu saja kebijakan yang pas ini ditunjang basis data yang apik. Inilah salah satu kunci pemerintahan era SBY.

Bandingkan sama hari ini. Ketidakbecusan pemerintah jelas banget. Misalnya, saat musim panen raya Desember 2017-Februari 2018, harga beras malah naik. Harusnya kan harga turun pas panen raya. Makanya Kemendag mau mengimpor 500 ribu ton beras pada 11 Januari 2018.

Makin kacau jika menyitir data Kementan dan BPS. Produksi beras minimal 50,2 juta ton, padahal konsumsinya cuma 25,7 juta ton. Artinya, produksi hampir 2 kali lipat konsumsi. Intinya, surplus beras hampir 100 persen. Terus kalau Indonesia surplus beras, kenapa barangnya enggak ada di pasar? Kenapa harga beras malah melonjak?

Jadi siapa yang salah? Saya pikir ini bukan cuma kesalahan Mendag Enggar. Tetapi juga institusi terkait. Kayak Menko Perekonomian, Menteri Pertanian, Dirut Bulog dan Kepala BPS. Mereka juga harus tanggung jawab.

Besar dugaan kisruh impor beras ini berpangkal dari mis-manajemen jajaran pembantu Presiden Jokowi. Mereka salah hitung produksi, salah hitung impor, salah hitung kapasitas gudang. Parahnya, setelah ketahuan salah, mereka cari selamat masing-masing. Ribut-ribut di media. Saling salah menyalahkan. Sementara sang presiden asyik joget "dayung" di Korea.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline