Lihat ke Halaman Asli

Indah Lutfiana

manusia yang terus berproses

Kasus Bullying di Pesantren: Dampak Pola Asuh yang Tanpa Sadar Melahirkan Pelaku Bullying

Diperbarui: 16 Maret 2024   22:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Quora

Pertengahan bulan Februari yang lalu, atensi masyarakat Indonesia kembali ditarik pada satu kasus yang cukup menggemparkan. Kematian seorang santri yang berusia 14 tahun di salah satu pondok pesantren yang ada di Kediri, Jawa Timur, menarik banyak rasa simpati di kalangan masyarakat kita. Selain penyebab kematian yang dianggap tak wajar, setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata ada unsur kekerasan yang dilakukan oleh sesama santri terhadap korban.

Kasus kematian santri di kediri bukanlah kasus pertama yang terjadi di lingkungan pesantren. Dikutip dari artikel pada laman berita tvonenews.com yang terbit pada 29 februari 2024, kurang lebih ada 16 kasus kekerasan yang mengakibatkan kematian pada santri selama 3 tahun terakhir dan berhasil terungkap oleh media. 

Tidak menutup kemungkinan, bisa saja jumlahnya lebih banyak dari yang disampaikan artikel tersebut, hanya saja tidak terungkap dan mungkin terpaksa diselesaikan secara kekeluargaan untuk mempertahankan nama baik dari pondok pesantren ataupun pihak lain yang bersangkutan.

Lalu, bagaimana kekerasan di lingkungan pesantren bisa terjadi? Apa yang menyebabkan anak berusia belasan tahun tega untuk menyakiti hingga menyebabkan hilangnya nyawa teman mereka sendiri?

Memutuskan untuk hidup di pesantren, artinya kita siap untuk hidup bersama, saling berbagi, dan saling peduli dengan individu lain yang kepribadiannya 100% berbeda dengan diri kita. Terkadang, pihak keluarga atau wali yang memiliki kewenangan untuk memasukkan anak ke pesantren lupa untuk memastikan bahwa anaknya telah dibekali berbagai ilmu yang berfungsi sebagai pendukung kehidupan bersosialisasi di pesantren. Tak jarang, keluarga seolah-olah menganggap pesantren adalah tempat 'Rehabilitasi' untuk memperbaiki sifat anak yang dianggap bandel dan susah diatur. Hal tersebut tidak salah, tapi juga tidak selamanya benar.

Salah satu penelitian yang dilakukan Nugroho dkk. (2020) yang berlandaskan teori Rowland (1998), mengkaji tentang faktor penyebab perilaku bullying di lingkungan pesantren. Dan hasilnya membuktikan bahwa para pelaku bullying memiliki kecenderungan untuk berperilaku agresif. Lalu, apa yang di maksud dengan perilaku agresif? Dan bagaimana pelaku bisa memiliki kecenderungan berperilaku agresif?

Menurut Myers (dalam Rahmat et al., 2024), agresivitas adalah tindakan yang menyebabkan kerugian atau kerusakan, baik secara verbal maupun nonverbal. Dalam buku Baron dan Byrne (2015), tindakan agresif dapat diartikan sebagai tindakan penyiksaan terhadap orang lain yang dilakukan secara sengaja. Kemudian, menurut Buss dan Perry (dalam Sheila Aurellia & Erdina Indrawati, 2024), perilaku agresif adalah perilaku yang bertujuan untuk menyakiti orang lain, secara fisik maupun verbal, dalam hal ini bisa berupa agresi fisik, agresi verbal, kemarahan, dan permusuhan.

Jika dihubungkan dengan kasus kematian santri yang terjadi di kediri beberapa waktu lalu, yang mana pelakunya adalah santri yang masih berusia belasan tahun atau berada dalam fase remaja. Pada fase ini, tak jarang individu merasa kesulitan untuk mengatur emosinya yang kurang stabil sehingga mungkin tanpa sadar cenderung berperilaku yang sifatnya agresif (Dewi & Susilawati, 2016). 

Menurut Baron dan Byrne (dalam Tokan et al., 2023), faktor bawaan, pola asuh, lingkungan keluarga dan lingkungan pendidikan menjadi beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi terjadinya perilaku agresif pada diri individu. Dari beberapa faktor tersebut, kali ini saya akan membahas keterkaitan dari pola asuh keluarga sebagai penyebab munculnya perilaku agresif pada remaja.

Pola asuh bisa diartikan sebagai interaksi yang terjalin antara orang tua dan anak, dimana dalam interaksi ini meliputi bagaimana sikap orang tua pada anak, tindakan orang tua pada anak, cara berkomunikasi pada anak, serta bagaimana orang tua memperlakukan anak (Tokan et al., 2023). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline