Bahagia itu tak pernah bisa diukur dengan harta benda, ataupun dengan ribuan kata yang dituliskan oleh pujangga, sastrawan. Bahagia itu sederhana! Sesederhana yang ditunjukkan lewat sikap, perbuatan atau tindakan. Sesederhana pikiran anak-anak pemulung di Bantargebang, Bekasi, yang saya dan Wylvera Windayana, teman penulis, datangi kemarin (Kamis, 7 Maret 2013). Ini kunjungan saya untuk yang kedua kalinya. Akhir bulan Januari lalu, saya untuk pertama kali berkunjung ke Yayasan Ummu Amanah, PKBM Al Falah, Bantar Gebang, yang merupakan sekolah terbuka untuk anak pemulung di lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang. Saya dan Wiwik, berbagi cerita tentang menulis dan mengarang cerita untuk mereka. Di kunjungan kedua ini, hati saya tersentak, haru, dan nyaris menitikkan airmata. Saat melihat kedatangan saya dan Wiwik, beberapa orang anak berlari-lari menyambut kedatangan kami, lalu mencium tangan kami, satu persatu. “Bu, saya sudah buat PR!” seru seorang anak perempuan berjilbab. “Saya juga, Bu. Sudah dikumpulkan ke Pak Khoeruddin,” kata anak perempuan yang lainnya. Aroma menyengat sampah pun hilang seiring dengan semangat menggebu dari mereka, anak-anak tercinta. Ah, betapa bahagianya kami, nak, bisa kembali bertemu dengan kalian. Kami melangkah masuk ke ruang Kepala Sekolah PKBM Al Falah, Pak Khoeruddin, untuk berbincang-bincang sejenak, dan kelas untuk pelatihan menulis dipersiapkan.
Tak lama seorang bu guru mempersilakan kami untuk masuk kelas dan memulai pelatihan. Satu persatu murid PKBM Al Falah yang terdiri dari siswa kelas IV, V dan VI, masuk ke kelas. Tidak seperti pertemuan pertama, yang mencapai 30 murid, di pertemuan kedua ini, murid yang hadir sebanyak 24 orang. Tapi kami tetap senang, melihat antusias anak-anak tersebut. Wajah-wajah yang haus ilmu terekam jelas dalam mata saya. Mereka memandang kagum kepada saya dan Wiwik, mungkin tak menyangka kalau kami akan datang lagi untuk mengajar mereka. Seperti yang sudah-sudah dan menjadi hal yang biasa, kalau ada pihak lain yang ingin berbagi ilmu, hanya sekali datang dan tak pernah kembali lagi. Kami lalu memulai pelatihan mengarang dengan menanyakan PR yang kami berikan apa sudah dikerjakan. Apa ada yang kesulitan mengerjakannya. Semuanya serentak menjawab sudah mengerjakan. Lalu dengan malu-malu mengatakan kalau ada yang asal menulis karena tidak tahu mau menulis apa. Jangan berharap ada infokus, tayangan powerpoint dalam pelatihan ini. Semua materi penulisan kami yang diberikan kami tulis di papan tulis. Jangan berharap mereka menulis materi tersebut di netbook atau laptop. Mereka menulis di buku tulis dengan pensil dan pulpen sederhana. Namun pertanyaan-pertanyaan mereka tak kalah dengan anak-anak lainnya, yang bisa menikmati hidup dengan layak. Bahkan, pertanyaan dan pernyataan mereka yang teramat polos itu membuat perasaan kami haru dan tercabik-cabik. “Apa saya bisa mengarang cerita, Bu. Kan saya sekolahnya enggak tinggi?” “Bu, saya nulisnya cuma sedikit, harus bantuin mama dan bapak.” “Bu, saya mau menulis supaya nggak jadi pemulung!"
Berbeda dengan sekolah umum lainnya, PKBM Al Falah, sebagian besar murid masuk sekolah dalam usia yang sudah lebih dari cukup untuk bersekolah. Ada yang usia 11 tahun duduk di bangku kelas IV, 13 tahun di kelas V, bahkan ada seorang siswa yang telah berusia 20 tahun masih bersekolah di kelas VI SD. Siswa ini termasuk siswa yang mendapat perhatian penuh dari guru-guru di Al Falah, karena meski belum lancar membaca dan menulis, namun setiap hari selalu hadir di sekolah untuk belajar. Tidak semua siswa Al Falah bisa menikmati pelajaran dengan mudah. Ada yang belum lancar membaca, ada yang belum lancar menulis. Juga ada yang menulis dan membaca dengan terpatah-patah. Yang menarik, sebagian besar anak menulis di buku dengan miring, posisi 90 derajat, tidak seperti biasa kalau kita menulis. Bagi anak-anak di Al Falah, keterbatasan tak menghalangi mereka untuk menimba ilmu. Saat kami melatih mereka untuk merangkaikan kata-kata yang telah ditulis di papan tulis menjadi satu cerita, mereka dengan bersemangat mengerjakannya dan berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama selesai. Jika ada yang tidak lancar menulis, kami mempersilakan mereka untuk menggambar sesuai dengan kata-kata yang kami berikan sebagai panduannya menggambar. Buat yang lancar menulis dan membaca, kami meminta mereka untuk menulis sepanjang satu halaman buku. Hampir 20 menit mengerjakan tulisannya, anak-anak itu pun selesai juga. Kami lalu mempersilakan siapa yang berani maju ke depan untuk membacakan karyanya, namun disambut dengan malu-malu, hingga harus kami tunjuk dan sedikit “memaksa” mereka untuk berani tampil ke depan untuk membacanya karyanya di hadapan teman-teman mereka. Yang namanya anak-anak, tetaplah anak-anak. Saat mendengar karya teman-teman, riuh rendah komentar pun berhamburan. Namun, salut dan bangga, tak ada ejekan dalam komentar-komentar itu. Saya dan Wiwik merasa terharu karena ternyata karya-karya mereka bagus-bagus. Bahkan ada dua anak yaitu Eka Aulia dan Ulfi, yang menulis dengan rapi, bagus dan indah, yang berhasil membuat kami ingin menangis saat membaca tulisan mereka.
Setelah semua membacakan hasil karya mereka, kami pun memilih tiga terbaik. Dan, kebetulan ketiga terbaik itu adalah anak-anak yang istimewa di kelas mereka masing-masing dan selalu bersemangat mengikuti pelatihan menulis yang sudah dua kali diadakan. Mengajar menulis dan mengarang cerita untuk anak-anak pemulung yang berada di Bantar Gebang memang berbeda dengan pelatihan menulis untuk anak-anak yang orangtuanya lebih mampu dibandingkan anak-anak pemulung itu. Jika anak-anak lainnya, mungkin pelatihan menulis selama 2 jam akan terasa kurang, tapi bagi siswa Al Falah, cukup satu jam saja, namun penuh ilmu dan bermanfaat untuk mereka berlatih lagi di rumah. Sekitar pukul 11.10 WIB, kami mengakhiri pelajaran dengan tak lupa memberikan lagi PR mengarang cerita kepada siswa siswi Al Falah dengan memberikan 10 kata untuk dirangkai menjadi cerita. Belum selesai kami berbicara, anak-anak sudah bertanya apakah kami akan kembali lagi di bulan depan? Tentu saja! Kami merasa berkewajiban untuk datang kembali ke PKBM Al Falah, berbagi cerita, berbagi ilmu, agar mereka punya semangat untuk terus menimba ilmu, meraih cita-cita seperti yang mereka tuliskan. Apalagi kami merasa, kami tidak hanya memberikan pelajaran kepada mereka, tetapi anak-anak itu pun telah memberikan kami banyak pelajaran tentang hidup. Pelajaran menghargai hidup, meraih kesempatan dan cita-cita, juga indahnya berbagi. Kami pulang dengan rasa bahagia memenuhi ruang jiwa. Saya dan Wiwik berjanji untuk meluangkan waktu di bulan April, untuk kembali ke tempat anak-anak tercinta itu, tentunya dengan materi yang berbeda, agar suatu saat impian mereka untuk punya karya dalam tulisan tercapai. Insya Allah, aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H