Lihat ke Halaman Asli

Indah Dwinta

Berbagi Kehidupan

Sambal Belacan

Diperbarui: 27 Januari 2021   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. flickr

Aku pergi pagi-pagi sekali, berbarengan dengan kokok ayam jantan kesayangan Bapak. Kokoknya semacam suara peluit, tanda keberangkatan kapal berlayar.

Tujuannya tak lain, ke rumah sahabatku, Manti. Sahabat yang tak pernah jemu mendengarkan segala dumelan atau kesemringahanku. Sebelumnya, sudah kuhangatkan singkong yang direbus semalam, kuletakkan di sisi kopi panas untuk Bapak di beranda.

***

"Oi, dia sampai juga. Selamat ulang tahun yaa, Manis." Manti merajuk, mencubit pipiku.

Manti tau benar, tak pernah ada ucapan ulang tahun lebih dulu dari rajukannya. Bertahun-tahun begitu, sejak Ibu, meninggalkan aku dan Bapak untuk selamanya.

"Emakku sedang masak nasi kuning. Katanya, Emak kepingin memberi sesuatu yang istimewa buatmu."

Meski cuma nasi kuning, bawang goreng dan bakwan sayur, kesibukan Emak Manti yang berasap-asap di dapur bikin aku terharu, sungguh haru sekali.

Meski tetap, yang aku rindukan sambal belacan. Sambal yang biasa Ibu bikin setiap aku bertambah umur.

Aku jadi kangen Ibu. Seraya aroma nasi kuning menyeruak sampai ke seluruh ruangan rumah Manti. Dan Gemericik suara minyak panas dituang adonan bakwan.
Tapi tak ada sambal belacan di antaranya. Sambal tradisi yang wanginya sangat legendaris, merasuk lembut ke hidung Bapak dan aku. Bikin nafsu makan berlipat-lipat.

Teringat Ibu bikin aku menitikkan air mata. Sedikit sesegukan. Kemudian lekas-lekas kutampik tetesnya yang hampir sampai ke sudut bibir.

Aku tak mau, Manti dan Emaknya melihat aku bersedih setelah apa yang mereka lakukan di hari ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline