Saya pernah membaca sebuah postingan yang sempat berseliweran di media sosial saya bahwa orang tua di Jepang lebih khawatir jika anaknya tidak bisa mengantre dari pada tidak bisa matematika. Bagi saya itu adalah suatu keyakinan akan perkembangan karakter seseorang dimulai pada usia dini. Lalu mengapa hal tersebut terjadi berbalik dengan di Indonesia?
Mengapa masih banyak orang tua yang takut dan kecewa akan hasil dari kemampuan akademik putra-putrinya? Masih adakah orang tua yang malu jika anak-anaknya tak pandai matematika atau mata pelajaran lainnya?
Memang benar sekali jika pendidikan karakter seorang anak dimulai dari keluarga. Orang tua memegang peranan penting dan yang paling bertanggung jawab dalam hal ini. Bagaimana dengan sekolah? Berapa persenkah peran serta pendidikan di sekolah terutama dalam perkembangan karakter?
Ternyata sekolah juga berperan besar dalam perkembangan karakter seorang anak asal dilaksanakan dengan dasar rasa cinta dan kasih. Ini artinya adalah sebuah sekolah harus memiliki guru-guru yang tidak hanya berkualitas dalam ilmu pedagogik dan akademik saja namun juga guru yang memiliki wawasan dan rasa memiliki, peduli dan tentu saja cinta.
Saya akan menuliskan sebuah pengalaman yang sangat berarti bagi saya sebagai seorang guru yang masih sangat sederhana dan harus terus belajar.
Saya adalah guru pada sebuah sekolah dasar. Saya bukan guru kelas tetapi guru mata pelajaran yaitu bahasa Inggris. Ada suatu hal yang mengharuskan saya untuk tidak mengajarkan materi bahasa Inggris di salah satu kelas.
Saya menemukan bahwa kelas tersebut sedang dalam keadaan sedang tidak baik. Ada sesuatu yang harus saya benahi saat itu juga. Tentu saja hal ini membuat saya berpikir keras bagaimana dan apa yang harus saya lakukan di kelas ini.
Beberapa hari sebelumnya saat saya hendak memulai pelajaran, saya melihat lantai kelas kotor. Ada beberapa sampah yang tergeletak di sana, seperti masker, bungkus plastik, sobekan kertas dan gelas plastik bekas minuman. Tentu saja hal ini membuat tak nyaman untuk memulai kegiatan belajar.
Saya tidak meminta siswa di kelas itu untuk membersihkannya. Saya tetap memulai kegiatan dengan materi pelajaran yang saya ampu.
Untuk mengetahui tingkat kesadaran siswa di kelas itu, saya sisihkan waktu untuk mengambil sampah-sampah tadi di saat mereka sedang mengerjakan latihan tertulis. Saya tidak mengambilnya dengan diam, tetapi sambil meminta izin kepada mereka agar saya diperkenankan untuk mengumpulkan semua sampah tersebut dan memasukkan ke dalam kantong plastik besar.