Suatu saat saya mendengar percakapan beberapa orang guru yang sedang beristirahat usai mengajar. Ada satu hal yang menarik perhatian saya. Keluh kesah yang keluar dari mulut mereka, apalagi kalau bukan cerita yang timbul saat mengajar tadi.
Berawal dari seorang guru wanita yang mengeluhkan para muridnya di kelas tertentu. Ia menemukan kekacauan terjadi saat meminta mereka untuk bekerja sama dalam kelompok kecil di kelas.
Sang guru membagi murid-muridnya ke dalam beberapa kelompok untuk mempraktikkan gerak dan lagu. Tapi setelah terbagi, beberapa murid protes karena tidak setuju dengan anggota yang ada di kelompok mereka.
Akhirnya sang guru itu menyerah dan meminta mereka untuk memilih kelompoknya sendiri. Namun yang terjadi justru rasa iri dan kesal dari para murid yang tersisih dari kelompok teman-teman mereka yang dianggap pintar.
Ada juga murid yang senang karena mereka bebas menentukan siapa saja yang cocok untuk bergabung ke dalam kelompoknya namun sayangnya, mereka justru merasa bangga memilih teman dekat saja yang dianggap pintar.
Lain lagi yang disampaikan oleh teman guru wanita tersebut, guru tersebut justru lebih suka jika ia yang menentukan siapa saja yang ada dalam kelompok. Ia percaya bahwa dengan begitu, murid-murid akan menurut dan mau saja belajar dalam kelompok. Walau kadang yang terjadi adalah kekakuan dan ketidakcocokkan satu sama lain, karena ada juga murid yang merasa tidak suka dengan kelompoknya.
Serba salah, itulah kata terakhir yang mereka (guru-guru) ucapkan. Maksud dan tujuannya adalah untuk membiasakan murid agar mampu bekerja sama dalam kelompok, berinteraksi dan pastinya agar mereka dapat memahami karakter dan sifat teman-temannya di kelas. Masalah pembagian kelompok kerja/tugas seringkali menjadi bumerang bagi guru dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Lalu, apakah karena hal yang tampaknya sepele itu, guru lantas tidak mau mengambil langkah atau metode yang lebih jitu dan mengena di hati murid-muridnya? Apakah harus memaksa murid untuk belajar dalam keterpaksaan?
Mengutip pernyataan dari Albert Einstein, "I never teach my pupils, I only attempt to provide the condition in which they can learn." (David King (1964); Training within the Organization yang artinya adalah, "Saya tidak pernah mengajari murid-murid saya; saya hanya berusaha menyiapkan kondisi di mana mereka belajar."
Kutipan Albert ini barangkali dapat menjadi acuan bagi guru dalam menugaskan murid-muridnya di kelompok belajar. Kutipan ini juga menggambarkan bagaimana fungsi guru menjadi fasilitator dalam kegiatan belajar.