Lihat ke Halaman Asli

Indah AriestyLiyan

Mahasiswa Aktif Sosiologi Universitas Brawijaya

Eksklusi Sosial dan Kesehatan: Eksklusi Sosial Penderita Epilepsi

Diperbarui: 7 Juni 2021   20:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh : Indah Ariesty Liyan
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia. Melalui tubuh yang sehat individu mampu menjalani kehidupannya dan hidup berdampingan dengan individu lainnya. Sayangnya,  praktik eksklusi sosial dalam bidang kesehatan kerapkali terjadi dan dibingkai dalam berbagai alasan. 

Eksklusi tersebut yang membuat individu yang sakit tidak bisa hidup berdampingan dengan masyarakat. Seringkali pengidap penyakit tertentu seperti ODGJ (Orang Dalam Gangguan Jiwa), Disabilitas, HIV/AIDS mendapat deskriminasi dari masyarakat.  Eksklusi sosial yang diterima pengidap penyakit tertentu berbagai macam mulai dari dihidari, dideskriminasi, distigma,  hingga kekerasan fisik. 

Hal ini berakhir dengan tidak maksimalnya peran pengindap penyakit tertentu dalam akses pelayanan publik dan kontribusi  di sektor sosial, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Salah satu penyakit yang juga sering dieksklusikan adalah penderita epilepsi.  Menurut Suryawijaya ddk (2019) Epilepsi merupakan penyakit yang tidak hanya menyangkut masalah kesehatan, namun juga menyangkut sosial dan ekonomi. 

Rendahnya pengetahuan masyarakat akan epilepsi berpengaruh buruk terhadap kualitas hidup penyandang epilepsi, sehingga mereka dijauhi secara sosial dan tidak bisa berkontribusi di bidang ekonomi (Suryawijaya, Sam, & Gelgel, 2019).


A) Epilepsi dan Masayarakat 

Dalam  Mahalini dan widodo (2010)  Epilepsi merupakan ganguan neorologi yang cukup serius dan bersifat kronis. Epilepsi merupakan ganguan syaraf yang menyerang fungsi listrik otak dengan karateristik yang mendasar adalah kejadian berulang dan kejang tanpa provokasi. 

Menurut Suryawijaya dkk (2019) penyakit epilepsi ini merupakan ganguan neorologi tertua di dunia dan merupakan penyakit syaraf yang menempati urutan kedua setelah stroke.  Namun selama ini masyarakat awam yang belum mengerti dan memehami apa itu epilepsi seringkali meletakkan pandangan yang keliru terhadap penyakit tersebut. Epilepsi telah lama dikenal oleh masyarakat dengan sebutan "ayan".

Dalam Suryawiajaya dkk (2019) dijelaskan bahwa negara berkembanglah yang berisiko lebih besar terhadap kemunculan penyakit ini dan memberikan perilaku buruk kepada penderita. Beradasar pada observasi penulis, istilah "ayan" dalam masyarakat awam dipandang sebagai penyakit yang aneh, tidak wajar, tidak normal, dan menakutkan.

Hal ini bersumber pada kepercayaan yang keliru terhadap epilepsi.  Kepercayaan keliru tersebut berasal dari budaya serta adat yang diyakini masyarakat. Contohnya kebudayaan yang berada di Kecamatan Kawapante, Kabupaten Sikka yang meyakini epilepsi sebagai penyakit "mati kambing".

Istilah tersebut muncul disebabkan penederita epilepsi kerapkali kejang dan berteriak-teriak seperti kambing dan setelah itu mati atau pingsan.  Dalam kebudayaan tersebut masyarakat Kawapante menyakini bahwa kondisi  penederita epilepsi tidak normal dan akan lebih parah jika ia mengonsumsi daging.

Tidak berhenti disitu saja, masayarakat cenderung menjauhi penderita epilepsi dengan alasan takut tertular (Rumah Sakit Panti Rapih, 2021).  Hal tersebut kian menunjukkan bahwa masyarakat dan epilepsi seolah berdiri berseberangan, dimana penderita epilepsi adalah seseoarng yang berada di seberang masyarakat. Mereka terstigama, dijauhi, dihindari, dan dianggap tak normal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline