Lihat ke Halaman Asli

Indah Dwi Rahayu

Semesta Membaca Tinta yang Tertoreh

Pemerintah Terus Didesak untuk Mengatur HPM, Sejauh Mana Upayanya?

Diperbarui: 4 Februari 2021   10:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto: mediabumn.com

Selalu ada ujian berat ketika ingin mencapai mimpi yang tinggi. Kalimat tersebut menggambarkan kondisi Indonesia saat ini. Dunia akan memasuki era green energy, era di mana kita tidak akan lagi bergantung pada minyak bumi yang disebut-sebut akan habis.

Pemerintah Indonesia saat ini berupaya keras dari melarang ekspor bijih nikel (yang disebut sebagai pengganti minyak bumi), menggandeng investor-investor asing (dikabarkan Tesla akan segera berinvestasi di Indonesia), hingga meneken beberapa pembangunan pabrik smelter nikel untuk memproduksi baterai lithium (listrik).

Anak tangga demi anak tangga mulai dilangkahi. Namun kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan. Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, jika Indonesia ingin mencapai mimpinya menjadi produsen baterai listrik, mengapa masih ada masalah di sektor hilir?

Dilansir dari Majalah Tempo yang rilis pada 9 Januari 2021, Meidy mendesak pemerintah agar mengimplementasikan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batu Bara yang mengatur tata niaga dan harga nikel domestik.

"Kami hanya meminta fairness, apakah smelter ini mau menerima harga sesuai dan pemerintah dapat mengawal transaksi dengan baik," ujar Meidy, Jumat (8/1) dikutip dari Majalah Tempo.

Lantas, dari pernyataan tersebut, pemerintah harusnya lebih tegas lagi dalam pelaksanaan Peraturan Menteri ESDM. Bagaimana dengan kenyataannya?

Pada Desember 2020 lalu, Yunus Saefulhak selaku Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) mengungkapkan dari 73 perusahaan atau 91,8 persen perusahaan telah menyampaikan kontrak jual belinya. Sebanyak 89 persen sudah sesuai dengan HPM dan 11 persen belum mematuhi HPM.

Sebelumnya, persentase perusahaan yang belum mematuhi HPM di bulan Oktober 2020 adalah 40 persen. Dalam kurun dua bulan, bulan Desember 2020 mengurang menjadi 11 persen. Hal ini menunjukkan bahwa ada progres dari pemerintah dalam menegur perusahaan-perusahaan yang masih melanggar HPM. Dan diharapkan seiring berjalannya waktu, seluruh perusahaan bisa taat pada HPM.

Selain semakin berkurangnya pelanggar, maka pengusaha tambang dan smelter mendapatkan keadilan dan profit margin yang sama-sama menguntungkan. Yunus menambahkan, jika perusahaan masih melanggar aturan, maka ada peringatan ketiga yaitu penghentian sementara operasi. Tidak tanggung-tanggung pemerintah akan mencabut izin usaha perusahaan tersebut.

Pemerintah sudah berusaha untuk bersikap tegas, Tim Satgas HPM nikel juga sudah dibentuk untuk mengawasi tata niaga dan harga nikel domestik. Apalagi arah dan tujuan Indonesia menjadi global supply chain baterai kendaraan listrik telah disepakati. Seharusnya, segala kekisruhan mengenai tata niaga domestik nikel semakin berkurang hingga nihil. Kenapa? Karena kita sudah menetapkan visi yang jelas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline