Dalam publikasi PwC berjudul The Long View: How will the global economic order change by 2050?, Indonesia diproyeksikan menjadi negara ke-4 terbesar di dunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat pada tahun 2050 mendatang.
Senada, McKinsey Global Institute (MGI) pada September 2012 dalam laporannya yang berjudul The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia's Potential memprediksikan peningkatan ekonomi Indonesia dari peringkat ke-17 pada tahun 2012, meningkat ke peringkat 7 pada 2030 mendatang.
Dua laporan ini menjadi perwakilan bahwa begitu banyak analisis yang optimis terhadap masa depan perekonomian Indonesia yang sejalan dengan proyeksi "Indonesia Maju" di tahun 2045.
Tentu, untuk mewujudkan prediksi dari analisis ekonomi tersebut di masa mendatang, dibutuhkan prakondisi yang harus segera diwujudkan sebagai pilar pendukung transformasi ekonomi menuju Indonesia Maju 2045.
Salah satu upaya yang sudah dilakukan Indonesia secara kontinu dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja yang bertambah sekitar 60% pada periode 2010 hingga 2030 nanti. Produktivitas tenaga kerja tersebut harus terus tumbuh konsisten di dalam ekosistem kondusif untuk pertumbuhan perekonomian yang produktif dan berdaya saing.
Pertumbuhan ini ditandai dengan adanya peningkatan penerimaan ekspor pada sektor manufaktur. Basis produksi milik Indonesia yang melahirkan keluaran (output perekonomian) dari sumber daya (faktor produksi) diperlukan saat ini. Tujuannya untuk mendorong pergerakan ekonomi produktif domestik yang tentunya berorientasi pada ekspor.
Namun Indonesia patut memperhatikan early warning yakni defisit neraca berjalan pada 2018 lalu mencapai US$31 miliar dan berpengaruh pada perekonomian domestik. Defisit transaksi berjalan menunjukkan ketergantungan Indonesia pada sumber daya eksternal dalam mendorong perekonomian kita.
Apalagi semenjak Covid-19 mewabah, mengakibatkan ekonomi Indonesia terjun bebas. Menurut Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, pada triwulan III 2020 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar -3,49% (YoY), yang memang membaik dari triwulan sebelumnya yakni sebesar -5,32% (YoY). Hal ini menunjukkan proses pemulihan ekonomi dan pembalikan arah (turning point) dari aktivitas-aktivitas ekonomi nasional menunjukkan ke arah zona positif.
Walaupun ekonomi Indonesia mulai tumbuh positif pasca pandemi, Indonesia membutuhkan transformasi perekonomian agar sumber daya Tanah Air dapat tumbuh lebih tinggi dan kokoh.
Menurut pendapat Rosenstein-Rodan (1943), diperlukan kebijakan yang memiliki daya dorong besar sebagai "a necessary condition" untuk mengatasi ketertinggalan. Caranya? Dengan memanfaatkan jaringan kerja melalui skala kehematan dan cakupan (economies of scale and scope) sebagai acuan dalam transformasi ekonomi Indonesia.
Transformasi ekonomi Indonesia dapat dimulai dari strategi industrialisasi pengolahan. Langkah jangka pendek yang dapat dilakukan adalah mengembangkan industri pengolahan yang berbasis SDA (Sumber Daya Alam) seperti industri pertambangan, perikanan, perkebunan, pertanian, dan lainya. Industri pengolahan harus mampu memberi nilai tambah (value added) pada produk-produk sektor primer. Sejalan dengan itu, hilirisasi subsektor industri manufaktur yang memiliki keterkaitan kuat ke depan (forward linkage) patut dijadikan prioritas.