Lihat ke Halaman Asli

Manajemen Isu dan Komunikasi Krisis oleh Perusahaan Unilever dalam Menghadapi Dampak Informasi Fatwa MUI

Diperbarui: 14 Januari 2024   14:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penulis: Indah Kirana Putri

Dosen Pengampu: Saeful Mujab, S.Sos, M.I.Kom

Abstrak:

Artikel ini membahas tentang manajemen isu dan komunikasi krisis yang dilakukan oleh perusahaan Unilever dalam menghadapi dampak informasi hoax mengenai fatwa MUI yang menyatakan haramnya membeli produk Israel. Dalam konteks ini, Unilever dihadapkan pada tantangan komunikasi yang kompleks dan perlu mengambil langkah strategis untuk menjaga reputasi perusahaan dan mempertahankan hubungan baik dengan konsumen dan pemangku kepentingan lainnya.

LATAR BELAKANG:

Semakin meningkatnya peran media sosial dan internet dalam menyebarkan informasi, baik benar maupun salah. Hoax atau informasi yang tidak berdasar dapat dengan cepat menyebar dan berdampak buruk pada reputasi perusahaan. Dalam kasus Unilever, informasi hoax yang menyatakan bahwa produk mereka terkait dengan Israel dan tidak halal dapat menimbulkan ketidakpercayaan konsumen dan dampak finansial yang signifikan. Fatwa MUI yang menyatakan haramnya membeli produk Israel juga menjadi faktor penting dalam konteks ini. Fatwa ini mempunyai pengaruh besar terhadap pandangan dan keputusan konsumen muslim di Indonesia. Dalam hal ini, Unilever sebagai perusahaan multinasional yang memiliki produk beragam dan dikenal masyarakat luas perlu merespon dengan cepat dan efektif untuk meminimalisir dampak negatif dari informasi hoax tersebut. Manajemen isu dan strategi komunikasi krisis menjadi kunci dalam menghadapi situasi seperti ini. Perusahaan perlu mempunyai rencana yang terstruktur dan strategis untuk mengatasi permasalahan yang muncul, termasuk dalam hal ini informasi hoax yang dapat merusak reputasi perusahaan. Dalam hal ini, Unilever perlu mempertimbangkan bagaimana mereka dapat mengklarifikasi fakta, meningkatkan transparansi, dan memperkuat hubungan dengan pemangku kepentingan, khususnya konsumen dan MUI. Dalam konteks globalisasi dan persaingan bisnis yang semakin ketat, perusahaan multinasional seperti Unilever harus mampu menghadapi berbagai tantangan yang muncul, termasuk isu-isu sensitif seperti konflik politik atau agama. Dalam hal ini, manajemen isu dan strategi komunikasi krisis yang efektif menjadi penting untuk meminimalkan dampak negatif dan menjaga reputasi perusahaan. Dengan memahami latar belakang tersebut, kita dapat melihat betapa pentingnya penelitian manajemen isu dan strategi komunikasi krisis yang diterapkan Unilever dalam menghadapi dampak informasi hoax terkait fatwa MUI. Penelitian ini dapat memberikan wawasan dan pembelajaran bagi perusahaan lain dalam menghadapi situasi serupa di masa depan.

TINJAUAN PUSTAKA:

Studi sebelumnya menunjukkan bahwa situasi kontroversial seperti fatwa MUI dapat menimbulkan kepanikan di masyarakat. Strategi manajemen isu yang terintegrasi dan komunikasi krisis yang transparan telah terbukti efektif dalam mengatasi dampak negatif dan membangun kembali kepercayaan konsumen.

1. Strategi Manajemen Isu dan Komunikasi Krisis

Istilah "manajemen isu" dipopulerkan oleh W. Howard Chase pada tahun 1997 April 1976. Manajemen isu memasuki studi hubungan Masyarakat tidak terlepas dari peran Chase yang sepanjang tahun 1950an dan 1960an dalam perannya sebagai praktisi hubungan masyarakat untuk America Can Company, tertarik pada meningkatnya pengaruh faktor eksternal pada perusahaan. Untuk menanggapi tekanan eksternal, manajemen sering kali bertanya saran dari Chase dan praktisi hubungan masyarakat lainnya. Bersama rekannya Barry Jones, Chase kemudian berkembang istilah “manajemen isu” dengan mendefinisikannya sebagai instrumen yang dapat digunakan perusahaan untuk mengidentifikasi, menganalisis, mengelola isu-isu yang muncul dan menanggapi isu-isu sebelum terjadi. Pengalaman menunjukkan bahwa meminta nasihat sering kali terlambat munculnya artikel di media massa yang menyerang reputasi perusahaan; setelah tuntutan hukum; setelah konsumen menerapkan boikot menentang produk tersebut dan kelompok demonstran memblokir pintu gerbang perusahaan.

Coombs (seperti dikutip Kyhn, 2008) menyatakan bahwa komunikasi krisis merupakan “darah kehidupan” dari seluruh aktivitas manajemen krisis dan berperan penting dalam setiap tahapan manajemen krisis. Pendapat lainnya adalah dari Fearn-Banks (seperti dikutip Kyhn, 2008) yang dijelaskan dalam Dalam manajemen krisis yang efektif terdapat komunikasi krisis yang tidak hanya mengurangi atau menghilangkan suatu krisis, tetapi juga sedikit banyak dapat memberikan organisasi reputasi yang lebih baik dibandingkan sebelum krisis terjadi. krisis terjadi.

Manajemen isu dan strategi komunikasi krisis saling terkait dalam menghadapi tantangan terkait reputasi perusahaan. Strategi manajemen isu membantu perusahaan untuk mengidentifikasi dan memahami isu-isu yang mungkin berkembang menjadi krisis, sementara komunikasi krisis membantu perusahaan merespons dengan tepat dan memberikan informasi yang diperlukan selama krisis tersebut. Keduanya bekerja sama untuk melindungi reputasi perusahaan dan membangun kepercayaan pemangku kepentingan.

2. Dampak Informasi Hoax

Dampak informasi hoax bagi perusahaan bisa sangat merugikan. Hoax dapat merusak reputasi perusahaan, mempengaruhi keputusan investasi, dan menurunkan kepercayaan konsumen. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa literasi digital mempunyai pengaruh sebesar 63,6% terhadap pencegahan hoax, dan semakin tinggi pemahaman terhadap literasi digital maka semakin tinggi pula pencegahan hoax (Saputro & Koerniawati, 2023).

Informasi hoax bisa sangat merugikan suatu perusahaan, apalagi jika berkaitan dengan isu sensitif seperti fatwa MUI yang memboikot produk Israel. Dampak negatifnya antara lain rusaknya citra merek, menurunnya kepercayaan konsumen, gangguan operasional, dan potensi tuntutan hukum. Deteksi dini dan respons cepat sangatlah penting, dengan langkah-langkah seperti pemantauan media sosial, tim respons krisis, pendidikan publik, kerja sama dengan pihak berwenang, dan kampanye komunikasi positif. Dengan tindakan cepat, perusahaan dapat mengurangi dampak negatif, menjaga kepercayaan konsumen, dan melindungi citra mereknya.

3. Fatwa MUI Tentang Produk Israel

Fatwa Nomor 83 Tahun 2023 yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina melawan agresi Israel dianggap suatu kewajiban, sedangkan mendukung agresi Israel terhadap Palestina dianggap haram secara hukum. Fatwa tersebut juga menegaskan bahwa umat Islam di Indonesia sepakat untuk tidak mengonsumsi produk-produk Yahudi, Israel, atau Amerika, baik secara pribadi maupun melalui negara atau pemerintah. Hal ini dianggap sebagai tindakan yang dapat mengakibatkan hilangnya sumber pendapatan kaum Yahudi dan otomatis melemahkan mereka. Meski Fatwa DSN MUI Nomor 83 Tahun 2023 tidak secara spesifik menyebutkan produk yang wajib dihindari atau diimpor, namun masyarakat umum sudah mengetahui jenis produk yang terkait dengan Israel dan mengambil langkah untuk menolak atau memboikot produk tersebut. Di sisi lain, terdapat kontradiksi perekonomian di Indonesia, dimana negara tersebut masih bergantung pada produk Israel dan sekutunya, terbukti melalui investasi besar-besaran dari perusahaan asing seperti Unilever, Coca-Cola Company, Procter & Gamble, Johnson. , dan seterusnya di Indonesia (Husna, dkk: 2023).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline