Lihat ke Halaman Asli

Etika vs Kepentingan: Integritas Hukum Pada Kasus Suap

Diperbarui: 26 November 2024   23:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Profesi hukum adalah penjaga utama keadilan dan kebenaran. Bagi seorang hakim, etika lebih dari sekadar prinsip; itu adalah sumpah yang harus dipegang teguh. Hakim memiliki peran unik sebagai penentu keadilan di ruang sidang, sehingga setiap pelanggaran etika yang dilakukan tidak hanya merugikan individu tetapi juga mencoreng institusi hukum itu sendiri. Sayangnya, kasus pelanggaran etika oleh hakim masih sering terjadi. Misalnya, beberapa hakim terbukti menerima suap untuk memutuskan perkara yang menguntungkan pihak tertentu. Fenomena ini menggambarkan penghianatan terhadap integritas profesi sekaligus pelanggaran terhadap sumpah jabatan. Hakim yang semestinya netral malah berubah menjadi "pelayan" bagi mereka yang memiliki uang. Kasus Ronal Tannur, misalnya, menjadi salah satu contoh nyata. Sebagai seorang hakim, ia diduga menerima sejumlah uang dari pihak yang sedang bersengketa. Tindakan ini bukan hanya melanggar kode etik profesi, tetapi juga menunjukkan bagaimana jabatan yang sakral tersebut dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Pelanggaran seperti ini tidak hanya menodai profesi hakim, tetapi juga menghancurkan harapan masyarakat terhadap keadilan.

Mengapa seorang hakim yang seharusnya menjadi simbol keadilan berani melanggar etika? Jawabannya seringkali terkait dengan faktor internal dan eksternal. Secara internal, ambisi pribadi seperti mengejar kekayaan, gaya hidup mewah, atau mempertahankan posisi menjadi godaan yang sulit dihindari. Di sisi lain, tekanan sistemik seperti tuntutan politik, intervensi pihak tertentu, atau bahkan ancaman terhadap keamanan pribadi juga bisa memengaruhi keputusan seorang hakim. Pelanggaran etika oleh hakim sering kali dilakukan dengan rapi, memanfaatkan celah dalam sistem. Uang suap disamarkan melalui transaksi tersembunyi, sementara keputusan hukum dikemas dalam logika yang seolah-olah legal. Akibatnya, pelanggaran ini sulit terdeteksi tanpa pengawasan ketat.

Meningkatkan integritas hakim memerlukan reformasi menyeluruh, mulai dari rekrutmen hingga pengawasan selama masa jabatan. Proses seleksi hakim harus lebih transparan, berfokus pada integritas dan rekam jejak, bukan hanya pada kompetensi teknis. Selain itu, mekanisme pelaporan pelanggaran harus ramah terhadap pelapor (whistleblower) dan dilindungi dari ancaman balasan. Penegakan hukum terhadap hakim yang melanggar juga harus dilakukan tanpa pandang bulu untuk memastikan bahwa semua pihak bertanggung jawab atas tindakan mereka.

Pelanggaran etika oleh hakim adalah pengkhianatan terbesar terhadap prinsip keadilan. Ketika hakim -- yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan gagal menjaga integritasnya, kepercayaan publik terhadap sistem hukum pun runtuh. Kasus-kasus pelanggaran ini harus menjadi momentum untuk memperbaiki sistem secara menyeluruh. Dengan pengawasan yang lebih ketat, transparansi yang lebih baik, dan penegakan hukum yang tegas, kita dapat memastikan bahwa integritas profesi hukum tetap terjaga. Sebab, tanpa etika, keadilan hanyalah ilusi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline