Desa Ngadas adalah desa wisata yang terletak di antara Gunung Bromo dan Gunung Semeru. Desa ini dihuni oleh masyarakat Suku Tengger yang mewarisi tradisi dan nilai-nilai leluhur dari generasi ke generasi. Kelompok Modul Nusantara Gajayana PMM 4 UM mengunjungi Desa Ngadas untuk mengadakan talkshow inspiratif dengan tokoh agama dan tokoh adat, yaitu Pak Mujianto Mugiraharjo, Kepala Desa sekaligus Kepala Adat Desa Ngadas, dan Pak Sutomo, yang dikenal sebagai Mbah Dukun Desa Ngadas.
Nama Desa Ngadas berasal dari banyaknya tumbuhan adas yang tumbuh di daerah tersebut sebelum menjadi permukiman. Tumbuhan adas ini dapat digunakan sebagai jamu dan bumbu masakan.
Desa Ngadas memiliki tiga tempat ibadah, yaitu vihara, pura, dan masjid. Mayoritas penduduknya beragama Buddha, dengan satu keluarga yang beragama Kristen. Pendidikan formal di desa ini hanya tersedia hingga tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), sehingga siswa yang ingin melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) harus pergi ke daerah Tumpang.
Desa Ngadas memiliki berbagai upacara adat, seperti Upacara Karo yang merayakan tahun baru masyarakat Tengger, dan upacara Unan-Unan yang dilakukan setiap lima tahun untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan. Selain itu, ada budaya pete'an, yang merupakan kontrol tiga bulanan pada wanita untuk menghindari kehamilan di luar nikah. Jika terjadi kehamilan di luar nikah, dipercaya akan muncul wabah penyakit di desa, seperti sakit perut, yang ditandai dengan ayam berkokok sebelum waktunya.
Penduduk Desa Ngadas mengenakan pakaian adat khusus, terutama kain tenun goyor, yang menjadi ciri khas masyarakat Suku Tengger. Pemakaian sarung di Desa Ngadas memiliki makna filosofis sebagai panduan hidup agar tidak tersesat. Cara mengenakan sarung juga unik, diselempangkan di bahu. Bagi wanita, jika ujung sarung berada di bahu kanan, berarti belum menikah, sedangkan jika ujung sarung berada di depan, berarti sudah menikah.
Penggunaan sarung di Desa Ngadas memiliki beberapa manfaat, yaitu sebagai tanda pengenal dan identitas Suku Tengger. "Masyarakat Tengger biasanya selalu mengenakan sarung ke mana pun mereka pergi, dan jika tidak memakainya rasanya ada yang kurang," ujar Pak Muji, Kepala Desa. Selain sebagai identitas, sarung juga berfungsi untuk menghangatkan tubuh dengan cara menyelimutkan ke badan. Saat menghadiri acara pernikahan, sarung tersebut diselendangkan di leher.
Selain sarung, pakaian adat Desa Ngadas dilengkapi dengan penutup kepala yang disebut udeng, atau ikat kepala, yang dikenakan sebagai simbol pengendalian diri. Segitiga pada udeng melambangkan kejujuran, sementara tali angsul berbentuk tunas kelapa melambangkan harapan bahwa adat istiadat di Desa Ngadas dapat dilestarikan oleh generasi muda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H