Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!
Halo sahabat Kompasiana! Gimana kabarnya, nih? Semoga baik yaa
Sahabat Kompasiana pasti sudah tahu nih, bagaimana kecepatan arus globalisasi berperan besar terhadap perubahan-perubahan yang ada di seluruh dunia. Salah satu perubahan yang terdampak dari arus globalisasi ini adalah perkembangan generasi. Generasi tertua diduduki oleh Baby Boomers yang ada pada tahun 1946-1980 kemudian disusul generasi X pada 1965-1980, generasi Y pada 1981-1994, generasi Z pada 1995-2010 dan terakhir generasi Alpha (2011-2025) yang ada hingga pada saat ini.
Di sini kita akan membahas generasi Z dimana kemampuannya dalam bidang digital tidak perlu diragukan lagi karena generasi ini lahir ketika tekhnologi sudah sangat berkembang. Sebelum memasuki penjelasan yang lebih jauh mengenai generasi Z, shabat Kompasiana tahu nggak sih apa generasi Z itu? Generasi Z atau pascamilenial adalah generasi yang lahir antara tahun 1995 sampai 2010 dimana hingga saat ini generasi tersebut dikategorikan sebagai kelompok termuda dengan jumlah dua kali lipat dari generasi sebelumnya (generasi X). Gen z atau Baby Z tidak perlu melakukan penyesuaian lagi terhadap tekhnologi. Akibat kemampuan tekhnologi yang lebih dulu dimiliki daripada generasi-generasi sebelumnya ini membuat generasi Z sangat terikat dengan tekhnologi. Dari keterkaitan tersebut muncullah rasa ketergantungan yang menjadi cikal bakal rusaknya hubungan sosial antara indvidu dengan sekitarnya.
Akibat perkembangan tekhnologi yang berkembang cepat banyak sekali muncul fenomena-fenomena atau trend baru seperti 'FoMO' (Fear of Missing Out) yang menjadi istilah pengganti dari sebuah persoalan sosial. FoMO menurut Przybylski 2013 adalah perasaan takut seorang individu atau kelompok yang dimana penerapannya di dalam media sosial. FoMO ini berkaitan dengan perasaan cemas ketertinggalan akan pengalaman orang lain yang berharga sehingga membentuk suatu dorongan dan memunculkan ikatan antara individu dan media sosial karena rasa ingin tahu akan sebuah perkembangan. Fenomena FoMO ini sebenarnya bisa dikatakan sangat berbahaya karena dapat membuat individu ketergantungan akan internet. Ketika internet tidak dapat diakses, individu akan mencari segala kesibukan di dalam gadget untuk memenuhi rasa ketertarikannya. Bahkan seseorang akan tetap mengunakan gadget meskipun sedang melakukan aktivitas lain seperti berkendara, buang air besar ataupun makan. Karena itu FoMO sangat mampu merusak kesehatan individu, khususnya generasi Z karena dapat memunculkan rasa ketikdakpuasan akibat pengecekan terus-menerus.
Menurut Gezgin dalam Sianipar & Kaloekti 2019, tingkatan FoMO tertinggi adalah usia 21 kebawah dimana pada tahap ini seorang individu memasuki fase remaja akhir dan dewasa awal. Hal ini berhubungan dengan penjabaran fase berdasarkan karakteristik tahapan perkembangan psikologi pendidikan. Pada masa remaja (13-21 tahun) remaja mulai menghadapi permasalahan dimana hal ini berhubungan dengan pencarian indentitas. Remaja merasa takut dan cemas karena masih dalam masa adaptasi dengan dirinya yang baru hal ini membuat emosi remaja belum stabil dan terdorong akan sesuatu. Hal ini berlanjut sampai masa dewasa (1-65 tahun) dimana pemahaman emosional akan terus-menerus mengalami perkembangan dan memiliki kemampuan untuk belajar akan hubungan sosial. Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa FoMO adalah bentuk dari visualisasi perasaan takut dan cemas pada remaja akhir menuju dewasa awal sehingga dapat memicu sebuah dorongan untuk mengeksplor sebuah pribadi baru yang menjurus pada prilaku ekstrem. Begitu pula dengan teori Erikson dalam perkembangan sosial emosi pada usia 12-20 tahun dimana kepribadian baru membuat seseorang bertingkah secara berlebihan dan dianggap perilakunya tersebut jauh dari norma yang berlaku.
Jika penerapannya di dalam pendidikan, generasi Z memiliki karakteristik kemandirian dalam meresap ilmu pengetahuan. Karena banyaknya sumber yang beredar mulai dari buku, internet ataupun seminar bisa dengan mudah diakses membuat Gen Z ini bisa mencari sendiri materi-materi yang ingin dipelajari. Rasa ingin tahu inilah membuat mereka bersemangat dan tidak ingin tertinggal dan berakhir lalai akan pencarian sumber data yang valid. Disinilah peran tenaga pendidik sebagai fasilitator dan dukungan. Segala bentuk informasi yang tidak bisa dipertanggung jawabkan menjadi tugas guru sebagai alat akurasi dan edukasi penanggulangan sebuah informasi. Karena pada dasarnya peserta didik tidak bisa mengarahkan dirinya sendiri meskipun seluruh pembelajaran rasa aktif harus didominasi oleh peserta didik itu sendiri.
FoMO di dalam dunia pendidikan bisa berdampak negatif maupun positif tergantung bagaimana individu tersebut mengelolah emosi dan dirinya sendiri. FoMO dapat berdampak positif karena dengan adanya perasaan antisipasi kita tidak akan tertinggal informasi. Sisi negatif dari FoMO di dunia pendidikan ini adalah bisa memicu perasaan negatif yang menggaggu fokus belajar. Menurut Slameto (2013) konsentrasi belajar adalah ketika kita dapat memusatkan konsentrasi kita terhadap satu objek dengan membuang segala pikiran yang tidak berkaitan dengan pembelajaran. Nah, dalam fenomena FoMO ini generasi Z akan kesulitan fokus terhadap satu objek saja karena dengan sifat ingin tahu yang besar dengan adanya FoMO ini individu akan dibuat lupa dengan permasalahan utama karena pikirannya yang bercabang kemana-mana. Hal ini yang menimbulkan kesulitan konsentrasi sehingga produktivitas belajar akan menurun.
Secara garis besar fenomena FoMO banyak menyerang pemakai media sosial secara aktif, dimana seperti yang dijelaskan di awal generasi Z sangat ketergantungan dengan gadget karena sejak merek lahir dunia tekhnologi sudah berkembang secara pesat, istilah ini bisa kita sebut sebagai "digital natives". Generasi Z cenderung memiliki kepribadian yang cerdas, up to date dan aktif dalam media sosial. Dalam pengelompokannya peserta didik biasanya mengalami FoMO dalam hal pencapaian. Biasanya mereka akan membagikan sebuah momen lewat media sosial dimana mereka berhasil mencapai goals dari apa yang mereka impikan, hal itu bisa berupa foto atau tulisan yang dimana kebenaran di dalam momen yang dibagi tidak menjadi sesuatu yang penting karena tujuan mereka agar terlihat update. Nah, karena sebuah momen dengan kebahagiaan yang tidak nyata inilah bisa memicu buruknya kesehatan mental para pelajar generasi Z diantaranya:
1. Kesulitan Tidur
Seorang yang tengah mengidap FoMO akan mengalami kesulitan dalam mengistirahatkan dirinya akibat hati yang selalu dilanda kecemasan. Rasa cemas yang berlebihan akan merusak psikis seseorang karena ketika cemas melanda otak secara tidak langsung dipaksa untuk terus-menerus berpikir sehingga meningkatkan hormon adrenalin yang menyebabkan sulit tidur