Lihat ke Halaman Asli

Curhat Si "Tong Sampah"

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Sejak kecil aku telah terbiasa menjadi pihak pendengar. Itu berlanjut sampai sekarang. Aku lebih nyaman disuruh menjadi pendengar, soalnya kalau disuruh bercerita, aku sering bingung mau nyeritain apa, memulainya dari mana, dan kadang ceritanya suka ga runut. Akhirnya aku beranggapan, memang lebih baik jadi pendengar setia; deh. *halah...sepertinya kebanyakan menggunakan kata pendengar.*

Well, menurutku jarang ada orang yang mau mendengarkan orang lain, mereka lebih ingin didengarkan. Kebanyakan merasa bosan dengan detil ceritanya sehingga tak jarang mereka memilih menginterupsi atau mengalihkan pembicaraan. Namun teman-temanku bisa bercerita apapun, sepanjang dan selebar apapun, tanpa takut diinterupsi (kecuali karena hal yang memang urgent, misalnya aku sibuk atau udah harus pergi ke manaaaa gituu). Biasanya kalau orang udah nyaman curhat pada seseorang, mereka akan memilih curhat pada orang yang sama.



Yak, beberapa teman menjadikanku tempat curhat mereka. Setiap kali mereka curhat aku akan diam dan sekali-kali bilang "oooh..gitu" atau "Terus..terus?" tanda aku mendengarkan. Dan hal yang paling ditunggu oleh si pencurhat adalah tanggapan atau komentar. Kayaknya bete banget rasanya sesudah curhat panjang lebar dan ga ditanggapin sama sekali. Jadilah di setiap akhir sesi curhat, aku akan sok-sok an memberikan komentar cerdas yang aslinya nyontek dari majalah-majalah. Haha..untung waktu itu yang dicurhatkan masih yang masalah-masalah ringan ala abegeh, jadi komennya masih bisa ngarang abis.



Ga taunya teman-temanku itu merasa terbantu dan menyarankanku mengambil fakultas psikologi, kata mereka siih, aku berbakat. Lama-lama kupikir, kayaknya jadi psikolog memang enak dan gampang, kerjaannya cuma dengerin orang curhat, dan kemudian dibayar. *haha....itu bayangan kerjaan seorang psikolog dalam benak anak SMU, loh.* Namun, sayang, orang tua tidak mengizinkanku, dalam pikiran orang tuaku, psikolog itu kerjaannya ngurusin orang sakit jiwa di RSJ...hadeuh.



Meski gagal jadi psikolog, aku tetap melakoni profesi sebagai "Psikolog Gadungan" alias jadi tempat curhat orang-orang di sekitarku. Namun, kali ini rasanya ada yang berbeda. Berhubung kami sudah dewasa, masalah yang dicurhatkan itu sekarang jauh lebih berat dan rumit. Kadang masalah itu tak pernah kubayangkan sebelumnya. Sampai sekarang aku masih suka terkaget-kaget sendiri mendengar curhatan yang ajaib-ajaib itu. Oleh karena itu, aku tidak berani gegabah memberikan solusi, komentar, atau tanggapan. Ini berhubungan dengan masa depan seseorang, bo'. Salah  kasih tanggapan malah nanti akan menjerumuskan mereka atau memperburuk situasi sehingga aku harus berhati-hati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline