Pernikahan dini pada saat ini menjadi isu yang sering diperbincangkan, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Menurut United Development Economic and Social Affairs (UNDESA,2010), Indonesia berada dalam peringkat yang ke-37 dengan presentase tinggi mengenai masalah pernikahan usia muda dan merupakan negara tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja.
Pada tahun 2010 sebanyak 158 negara membuat kebijakan mengenai batas minimal usia untuk menikah yaitu 18 tahun keatas, namun di Indonesia batas usia minimal untuk perempuan adalah 16 tahun.
Menurut Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa angka prevalensi pernikahan dini lebih banyak terjadi di pedesaan dengan presentase 27,11% dibandingkan dengan perkotaan yang berada pada presentasi 17,09%.
Undang-Undang Pernikahan tahun 1974 menetapkan bahwa usia minimum bagi perempuan untuk menikah adalah 16 tahun. Namun jika dilihat dari sudut pandang kesehatan, usia perempuan yang siap secara mental dan fisik untuk menikah adalah pada usia 21 tahun, sedangkan laki-laki bisa dikatakan siap untuk menikah pada usia 25 tahun.
Dari sekian banyaknya hasrat manusia, hasrat seksual adalah hasrat yang paling sulit untuk dikontrol diri dan salah satu efeknya bisa menyebabkan terjadinya pernikahan di usia muda (Janiwarty dan Pieter, 2013).
Pernikahan usia muda sangat beresiko karena belum cukupnya kesiapan dari aspek kesehatan, mental emosional, pendidikaan, sosial ekonomi, dan reproduksi (Kemenkes,2014).
Faktor yang Menyebabkan Pernikahan Dini
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini salah satunya adalah kebiasaan orang tua yang mencarikan jodoh untuk anaknya yang menyebabkan banyak anak atau remaja yang putus sekolah serta tidak melanjutkan studi pendidikannya dan justru menikah di usia dini.
Hal tersebut dilatar belakangi dengan adanya ketakutan orang tua terhadap gunjingan dari tetangga dekat, yang beranggapan bahwa apabila anak perempuan yang berusia 13-20 tahun yang belum menikah mereka takut jika anaknya nanti dikatakan sebagai perawan tua.
Selain faktor keadaan sosial ekonomi, pendidikan, dan kebiasaan atau kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat juga terdapat faktor internal yang bisa menyebabkan remaja menikah di usia muda, yaitu faktor kemauan diri sendiri.
Hal ini dilatar belakangi karena adanya pergaulan bebas sehingga mereka dapat melakukan pernikahan di usia muda dan kurangnya pengawasan peran orang tua untuk anaknya.
Semakin tinggi tingkat Pendidikan dan status sosial seseorang maka tingkat pengetahuannya akan semakin tinggi. Begitu pula dengan umur, semakin bertambahnya umur seseorang maka pengetahuannya juga akan semakin bertambah, karena tingkat pengetahuan dengan perilaku seseorang sangat berhubungan. Jadi anak yang mempunyai pengetahuan baik maka ada kecenderungan untuk berperilaku yang baik juga (Diaz, 2017).
Melihat dari berbagai faktor yang menyebabkan pernikahan dini, maka edukasi mengenai pengetahuan risiko remaja tentang pernikahan dini sangat penting diberikan untuk meningkatkan pengetahuan mereka melalui keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat.
Orangtua seharusnya seharusnya tetap mengingatkan informasi yang sudah diterima anaknya tentang bahaya pernikahan dini pada kesehatan reproduksinya, dan mengarahkan atau membimbing supaya tetap pada jalur yang seharusnya.
Selain itu, remaja sudah sewajarnya memiliki sikap yang bertanggung jawab dalam bertindak, selain itu remaja harus bisa merencanakan masa depan yang baik dan mampu membuat suatu keputusan dengan bijak agar pernikahan dini tidak terjadi dan dapat terhindar dari faktor-faktor yang dapat berpengaruh buruk terhadap Kesehatan reproduksinya yaitu pernikahan dini dan Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H