Lihat ke Halaman Asli

Curahan Hati Seorang Sahabat

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi hari, setelah solat subuh, aku melihat temanku termenung memikirkan sesuatu sambil memegang smartphone di tangannya, dengan posisi badan disandarkan di dipan ala anak asrama putri. Dipan bertingkat yang usianya aku tidak tahu berapa tahun, tapi tentunya masih terlihat bagus dan terawat. Matanya berkaca-kaca, penuh teka-teki. Aku mencoba memulai percakapan dengannya.

“Ada apa Mit, kog pagi-pagi sudah melamun, kangen sama orang tua apa kangen sama pacar?” tanyaku. Dia hanya diam dan tidak menjawab. Aku mencoba untuk  tidak memaksanya bercerita, karena aku tahu saat ini hatinya sedang bergejolak. “Kalau nggak mau cerita sekarang nggak apa-apa deh, nih aku kasih kamu kertas sama pulpen biar kamu tulis aja isi hati kamu disini”, kataku lagi. Dia tetap diam. Akhirnya aku juga memutuskan untuk diam dan memilih untuk mengambil pakaian kotorku untuk aku cuci.

Setelah beberapa waktu berselang, aku kembali ke kamar. Dan mendapati kertas yang aku berikan kepadanya hanya penuh dengan coret-coretan yang sangat tidak karuan. Sedangkan Mita tidur tertelungkup sambil memeluk bantal dan matanya sembab. Aku tambah bingung dengan keadaannya yang seperti ini. “Loh, kog malah dicorat-coret gak jelas gini sih Mit?” kataku. “Ya,  sudah deh selesaikan dulu nangisnya, nanti kalau sudah puas nangisnya, cerita ya sama aku”.

Waktu menunjukkan pukul tujuh, aku masih sibuk mengerjakan tugas makalahku yang harus aku presentasikan hari ini. “Nit, aku mau curhat nih ma kamu,” tiba-tiba dia bersuara. Aku senang sekali akhirnya dia mau berbagi cerita denganku. “Iya, cerita apa? Aku siap kog jadi pendengar setia,” kataku. Dia menarik nafas, sembari mengusap air mata yang masih tersisa di pipinya. “Aku galau nih Nit”, dia mulai bercerita. “Galau kenapa?” tanyaku. “Kamu tahukan selama ini aku dekat sama siapa?” tanyanya. “Ia aku tahu, sama yang di Surabayakan?, memangnya dia kenapa? Mutusin kamu? Nggak kan, kamu kan gak pacaran sama dia masa ia mau putus”, kataku mulai memecahkan suasana. “Enggaklah, sekarang aku lagi bigung karena kita udah setahun deket tapi kog dia gak pernah ngungkapin perasaannya ke aku ya, ginikan aku jadi bingung, sebenarnya perasaan dia ke aku itu gimana Nita?” katanya.

Aku menarik nafas, ternyata ini masalah dia, aku tahu dia dekat sama seseorang yang sedang kuliah di UIN Sunan Ampel Surabaya dan mengambil jurusan Pendidikan Agama Islam di sana, sekarang semester lima, dan namanya adalah Fikry Luthfi Ramadhan. Panggilannya adalah Luthfi, Mita biasa memanggilnya Mas Luthfi. Mita dekat dengannya  sejak dia kelas tiga Madrasah Aliyah, mulai dari sering sms, chatting mengobrol di WA dan media sosial lainnya. Berdasarkan cerita-cerita yang sering diungkapkan oleh Mita kepadaku, aku mengambil kesimpulan bahwa Luthfi memang menaruh perhatian sangat besar kepada Mita. Tetapi aku tidak tahu dia itu menganggap Mita sebagai seseorang yang spesial dan menaruh cinta kepada Mita ataupun tidak. Atau hanya menganggap Mita sebagai adiknya akupun tidak tahu. Yang jelas, sekarang Mita sedang dalam kegalauan karena memikirkan apakah sebenarnya Luthfi menaruh cinta kepadanya atau tidak.

“Kalau menurutku, kamu bisa bertanya kepada teman dekatnya  di sana Mit, apakah Luthfi sering bercerita kepada temannya itu atau tidak, tentang kamu Mit”. “Dari teman dekatnya itu kamu bisa mengorek informasi apakah dia suka sama kamu, atau di sana dia sudah punya pacar atau belum”, aku mencoba memberi saran. “Aku nggak kenal sama sekali dengan teman dia yang di sana Nita,” dia menimpali. “Hemm..  gimana ya, aku juga bingung Mit, kalau kamu sendiri gimana?” Aku kembali bertanya kepadanya. “Aku bingung Nit, tapi setelah aku fikir-fikir sih lebih baik aku tidak terlalu berharap kepadanya, karena buat apa berharap kepada orang yang tidak memberi kepastian kepada kita, iya nggak?”, kata Mita sambil mencoba menenangkan diri. “Ya, gimana baiknya ajalah Mit, kalau itu menurut kamu baik, ya jalani aja, kamu juga perlu membuka hati buat orang lain, jangan berharap kepada orang yang tidak memberi kepastian kepadamu. Oke, kalu gitu mulai sekarang kamu harus berhenti mikirin dia. Setuju?” kataku. “Oke, sipp”. Kata Mita sambil mengacungkan jempol. “Lagian kalau kalian odoh, kalian bakal ketemu kog, iya nggak Nit?” Mita balik bertanya kepadaku dengan mata yang berkaca-kaca. “Iya dong, pasti itu. Rizki, maut, jodoh itu semua sudah ditentukan oleh Allah semenjak kita di dalam kandungan, jadi nggak usah risau masalah itu. Kita tinggal menjalaninya, tapi jangan lupa tetap berusaha dan berdoa, karena itu yang paling penting,” jawabku.

Waktu menunujukkan pukul delapan, itu artinya aku harus segera bersiap-siap untuk berangkat ke kampus. Karena jadwalku har ini pukul setengan sepuluh. Aku bergegas menuju kamar mandi, dan Mitapun demikian. Dan akupun lega sudah melihat secercah senyum di wajahnya. Semoga dia tidak kembali bersedih dan tidak mengingat kembali kenangannya bersama Luthfi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline