Lihat ke Halaman Asli

Inaya ErwansyahFitri

universitas muhammadiyah yogyakarta

Akibat Perbedaan Agama dalam Perkawinan Menurut Hukum di Indonesia

Diperbarui: 24 Desember 2022   16:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

AKIBAT PERBEDAAN AGAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA

Aktualitas di warga tentang perkawinan beda agama tak jarang dijumpai dengan arti validitas (kebenaran) yang tidak mampu di pungkiri. di realitasnya banyak orang yang pacaran tetapi hidup bersama atau “kumpul kebo” faktanya tak mempunyai status yang sah berdasarkan hukum juga agama. Hal ini didasari dengan kepercayaan yang bertentangan, sehingga mempengaruhi ikatan korelasi mereka. Perkawinan beda agama telah pasti akan mendapat masalah baik dalam aspek psikologis, aspek hukum, juga aspek kepercayaan . masalah persoalan tersebut timbul menyangkut hubungan dalam berkeluarga, yaitu hubungan antara suami dan istri lalu akan berdampak pada anak anak Bila mempunyai keturunan.
Manusia  makhluk sosial, yg artinya manusia tumbuh dan hidup saling berdampingan, berinteraksi, serta memiliki keinginan untuk hidup Bahagia dan memiliki keturunan melalui perkawinan. Perkawinan ialah suatu hal yang sakral pada ajaran agama. Seiring perkembangan jaman banyak kita dapatkan kabar perkawinan yg tak sesuai dengan tata cara agama maupun tata cara hukum yang berlaku. Tali yang menghubungkan perkawinan kini hanyalah ikatan tanpa makna. Kenyataanya tidak bisa dipungkiri masih banyak rakyat yang masih memakai metode istiadat norma, kepercayaan, dan sukunya yang tak sejalan dengan hukum yang berlaku. Sebagai akibatnya ketika melangsungkan perikatan hubungan itu melanggar aturan , salah satunya merupakan perkawinan beda kepercayaan .
A.Hukum yang Menjelaskan tentang Perkawinan Beda Kepercayaan di Indonesia.
Sesuai dengan UU NO.1 tahun 1974 tentang perkawinan beda kepercayaan tak bisa di sahkan pada pasal dua ayat 1, bahwa legalnya perkawinan bila memakai hukum berdasarkan hukum masing masing kepercayaan serta agama masing masing. Namun tak diatur secara khusus hubungan beda agama di Undang Undang NO.1 Tahun 1974, maka untuk mencegah vacum of law dikeluarkanya putusan MA dengan no 1400K/Pdt/1986. Menyatakan pasangan beda kepercayaan dapat meminta penetapan pengadilan. Putusan tersebut menyatakan kantor catatan sipil boleh melangsungkan perkawinan beda agama karena tugas kantor catatan sipil mencatat bukan mengesahkan. Berdasarkan ketentuan Pasal 35 Undang Undang No.23 Tahun 2006 perihal adminstrasi kependudukan menjelaskan pencatatan perkawinan sebagimana dimaksud pada pasal 34 berlaku juga bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan, yang mana dalam penjelasan pasal tadi dinyatakan yang dimaksud dengan “perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan” merupakan perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama. Maka dari itu perkawinan yang dilakukan umat beragama wajib melaporkan ke penduduk kepala instansi pelaksanaan pada daerah terjadinya perkawinan dan sesuai laporan penjabat pencatatan sipil mencatat pada register perkawinan lalu menerbitkan kutipan akta perkawinan. Intinya perkawinan yang dicatat di catatan sipil tak menjadi suatu perkawinan yang sah, jadi tak memengaruhi kesahan hubungan suami serta istri. Perkawinan beda agam dan kepercayaan tidak dapat disahkan di pengadilan, tetapi pengadilanya hanya dapat memberi izin para pemohon perkawinan beda agama, agar dicatatkan di kantor dinas kependudukan dan pencatatan sipil setempat agar secara adminstrasi negara mengetahui adanya perkawinan tersebut. Keadaan  ini didukung menggunakan ketetapan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 yang berkata bahwa pencatatan perkawinan bukan penyebab sah nya perkawinan. Dalam ketetapan MK tersebut dikatakan jika pencatatan sekedar sebagai formalitas adminstratif, pertanda berlangsungnya perkawinan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Jadi pencatatan (Pasal dua ayat (2) UU perkawinan) tidak sebagai syarat perkawinan yang legal di Indonesia, hanya suatu bukti faktual untuk menjaga hak hak yang tampak berasal dari suatu perkawinan. Oleh sebab itu, walaupun catatan tak termasuk ketentuan sah nya perkawinan, perkawinan yang tak dicatat dalam catatan sipil akan mengakibatkan konsekuensi hukum.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline