Kematian Bocah Ahmad 9 Tahun Akibat Gizi Buruk Menjadi Tamparan Keras
Bogor
Orang miskin dilarang sakit" istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi dimana masyarakat miskin termarjinalkan hingga sulit mengakses layanan kesehatan, hal ini mungkin saja terjadi karena biaya perawatan RS , obat-obatan yang relative masih dianggap mahal, dan pemeriksaan medis yang tinggi, serta keterbatasan fasilitas kesehatan yang masih terbatas, namun istiah ini seharusnya sudah tidak relevan lagi untuk digaungkan terlebih saat Pemerintah sudah menggeluarkan berbagai kebijakan tentang pelayanan kesehatan melalui program antara lain Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan program asuransi sosial yang dijalankan dengan prinsip gotong royong adanya program JKN, masyarakat miskin seharusnya tidak lagi takut untuk berobat ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, karena program ini juga membantu mengurangi beban biaya kesehatan masyarakat.
News
Namun demikian dengan pelayanan kesehatan yang prima dari Pemerintah untuk masyarakat miskin menjadi buyar, saat pagi hari seruput kopi panas sambil membaca berita tentang kematian bocah akibat gizi buruk rasanya kepala bak disambar petir disiang hari bolong saat pikiran focus membaca media online, maupun media lainnya yang memberitakan tentang kasus kematian seorang bocah usia 9 tahun bernama Ahmad warga kampung Somang Desa Parung Panjang Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat meninggal dunia di RSUD Tangerang Banten karena mengalami gizi buruk kejadian ini terdengar sangat miris, mungkin bukan soal kematiannya yang mendapatkan perhatian khusus dari publik tetapi soal penyebab kematian yang diakibatkan karena gizi buruk yang dialami bocah tersebut mengapa demikian ? karena disaat Pemerintah sedang gencar-gencarnya memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat melalui program stunting, namun saat kematian bocah Ahmad karena diakibatkan gizi buruk, namun sayang lagi-lagi selalu saja yang soroti adalah soal kondisi orang tuanya yang tidak punya pekerjaan tetap, tidak memiliki biaya untyk berobat menjadi kendala terbesar untuk bocah Ahmad bisa pulih hingga bisa bermain layaknya usia anak sebaya, namun apa mau dikata tubuh Ahmad yang terlihat sangat kurus seperti penderita gizi buruk pada umumnya, sayang sekali pasangan suami istri ini bernama Jaenudin dan Nurmi tidak punya BPJS kesehatan, jaminan kesehatan untuk fakir, yang dibayar pemerintah, belum terdaftar, kondisi ini semestinya menjadi perhatian kita bersama agar Pemerintah setempat lebih bisa memberikan sosialisasi sekaligus membantu, meng-advokasi terhadap keluarga yang masuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), karena bisa jadi minimnya pengetahuan, dalam proses pengurusan kartu BPJS, atau kartu kesehatan lainnya sehingga keluarga Ahmad pasrah saja tidak memiliki kartu layanan kesehatan dari Pemerintah, kondisi keawaman yang dialami sebagian masyarakat seharusnya menjadi kesadaran bersama di ranah aras infrastruktur (Masyarakat) dan aras suprastuktur (Pemerintah) berkolaborasi mengatasi stunting (gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak yang ditandai dengan tinggi badan yang lebih pendek dari anak seusianya, disebabkan oleh kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang), dan hendaknya kita menjadikan kematian bocah Ahmad karena tidak memiliki kartu layanan kesehatan sebagaimana diakui oleh Aktivis Kesehatan Bogor, Uun Desi mengatakan bahwa orang tua dari bocah tersebut yakni Jaenudin (40), dan Nurmi (31) tidak terdaftar sebagai penerima Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Penerima Bantuan Iuran (BPJS PBI) yang diperuntukkan warga miskin , pasangan suami istri itu tidak punya BPJS kesehatan, jaminan kesehatan untuk fakir yang dibayar pemerintah belum terdaftar, hingga terkendala dalam menerima layana kesehatan, pada akhirnya bocah Ahmad harus mengalami kematian karena gizi buruk
Bogor
Nasi sudah menjadi bubur kematian bocah Ahmad yang diakibatkan karena gizi buruk hendaknya menjadi tamparan keras bagi kita semua terlebih di saat Pemerintah sedang focus mengkampanyekan menurunkan target stunting melalui kebijakan terbaru untuk menurunkan stunting adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Perpres ini merupakan pengganti Perpres Nomor 42 Tahun 2013, Perpres ini bertujuan untuk menurunkan stunting secara holistik, integratif, dan berkualitas. Perpres ini juga mengatur koordinasi, sinergi, dan sinkronisasi antara pemangku kepentingan. Beberapa upaya yang dilakukan untuk mencegah stunting di antaranya:
1. Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) merupakan program yang memberikan makanan kepada anak-anak untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka dengan tetap berbahan pangan lokal
2. Memenuhi kebutuhan protein hewani pada ibu hamil, ibu menyusui, bayi, dan balita
3. Membangun dan memperbaiki fasilitas akses air bersih, sanitasi, dan fasilitas kesehatan