Selalu Berhias Diri Dengan Dosa Sebagai Alarm Dalam Menata Hati
Judul tulisan diatas diilhami atas apa yang disampaikan oleh salah satu tokoh sufi yang sangat terkenal Ibnu Athaillah pengarang kitab Al -- Hikam, membaca tulisannya harus hati-hati maqalah ini merupakan maqalah yang tidak bisa dimaknai secara langsung atau lateral, jika hanya dimaknai secara makna dzhahirnya saja, maka langsung bisa menuduh bahwa Syaikh Ibnu Athaillah itu sesat atau salah, karena pesannya tidak bisa dipahami jika mengandalkan makna lahiriyah saja, semangat yang ingin diampaikan sesungguhnya bukan betul-betul mengajak berpeluh dosa tetapi sebuah ajakan baik bahwa hendaknya seorang manusia harus tertanam dalam dirinya sebagai makhluk yang berlumuran dosa sehingga ringkih istigfar akan dengan ringan keluar dari lisannya daripada merasa sudah mencapai keta'atan lalu diiringi dengan berbangga diri nah ini akan jauh lebih berbahaya, jika kita analogikan dengan pakaian adalah analogi amal dan pelakunya ibarat baju dengan pemakainya, baju yang dipakai tidak akan pernah dicuci kalau pemakainya beranggapan masih bersih begitupun juga dengan manusia tidak akan pernah bertobat kalau dirinya merasa bersih, jadi pengertian Zayyin nafsaka bilma'shiyati wa laa tuzayyin nafsaka biththoati." : Sekilas pernyataan " hiasilah dirimu dengan kemaksiatan" tampak memberikan pemahaman yang kontroversial bagi khalayak awam, bagaimana tidak, karena pada pernyataaan di atas sangatlah jelas terdapat perintah untuk kita agar melakukan maksiat, namun demikian ungkapan dari Syekh Ibnu Athaillah, maksudnya adalah hiasilah dirimu dengan perasaan banyak dosa, banyak salah, merasa jahil, jangan tertanam perasaan banyak amal lalu merasa puas dan ujung-ujungnya berbangga diri, justru inilah semangat pesan yang ingin disampaikan Ibnu Athaillah dalam makolahnya
Pernyataan diatas sesugguhnya sudah sangat masyhur terutama dikalangan para sufi karena ilmu tasawuf diajarkan bagaimana memandang sebuah hal dari sudut pandang yang tidak mainstream (sesuatu yang tidak biasa, unik, atau aneh, dan tidak dilakukan oleh kebanyakan orang) , dibanding sudut pandang formal teoritis, dengan cara pandang yang diajarkan dalam tasawuf cenderung menggunakan rasa serta memandang hakikat dari sebuah hal, tidak melihat bungkusnya, maka sangat wajar jika banyak ditemukan pandangan yang menarik dalam ilmu tasawuf, salah satu yang masyhur adalah statement Al-Imam Ibn 'Atha'illah tentang berhias diri dengan dosa, ajaran tersebut memberikan sebuah pesan mulia dan sangat menarik, jadi siapapun yang benar-benar ingin menjadi manusia baik jawabannya harus berbuat amal kebaikan sesuai dengan ajaran Agama dengan ikhlas tanpa harus menunggu pujian dialamatkan, terhindar dari riya, jauh dari perasaan sudah lebih tha'at, lebih baik, dan jauh dari perasaan lebih banyak amal daripada orang lain, hindari untuk menjadi polisi kebenaran, dengan menuduh yang lain hina, rendah, bahkan dengan tuduhan sesat sekalipun, sebaliknya bagi pelaku pendosa jangan kemudian menikmati atas perbuatan dosanya maka berhentilah dari perbuatan dosa jauh lebih baik, dan lebih bisa menyelamatkan dirinya, dan orang lain
Rakyat
Dari makolah itu jika dicermati sekurang-kurangnya dua hal penting yang harus melekat pada diri manusia, yaitu "merasa" dan "tahu diri", merasa, atau "rasa karumasaan", pinjam bahasa Sunda atau orang Jawa menyebutnya dengan istilah "roso rumongso", adalah sebuah pengakuan yang sangat tulus bahwa dirinya tidak steril dari dosa, dan kesalahan masih banyak kekurangan, merasa tidak punya kelebihan apa-apa "tahu diri" merupakan kesadaran diri terhadap martabat dan posisinya, tentang siapa , sebagai apa, memiliki kehebatan apa, dan dalam termonologi akhlak merasa dan tahu diri lebih familiar dengan sebutan "tawadhu" yaitu selalu rendah diri kapan dan dimanapun berada.
Ahad, 12 Januari 2025
Kreator Kompasiana: Inay thea, Cileungsi, Bogor, Jawa Barat