Saat Melihat Langsung Praktek Toleransi Dari Kota Singkawang yang dikenal Dengan Kota Seribu Klenteng
Rasanya bicara tolerasi di Kota Singkawang saya harus mulai dari pengalaman pribadi ketika ada acara kordinasi dari salah satu program di kantor Kota Pemerintah Singkawang pagi-pagi sudah bangun pergi sholat subuh ke Masjid Raya Kota Singkawang setelah kembali dari masjid kemudian kemblii ke hotel lalu jalan jalan pagi menghirup udara segar Kota Singkawang tiba-tiba ada kawan nyeletuk menawarkan sarapan bubur sambil menuju lokasi warung bubur tanpa pikir panjang langsung saya arahkan kaki belok kearah warung bubur namun belum juga masuk kedalam tiba-tiba kawan saya sampaikan eiittt jangan masuk dulu coba lihat diatas pintu ada gambar apa oalah rupanya saya kena prank akhirnya dengan terpaksa saya balik kanan rupanya kawan saya sedang prank namun yang paling menarik adalah saat saya balik kanan tidak rasa ketersinggunan sedikitpun dari mereka karena mereka berkeyakinan kalau saya Islam dan gembar yang dipasang sebenarnya sebagai petunjuk bagi orang yang belum tahu supaya tidak salah masuk ini artinya begitu tingginya toleransi mereka dalam menghargai agama lain, dan tidak hanya sampai disitu pengalam berikutnya yang tidak kalah menarik adalah saat bersama sama kawan mencicipi Choi Pan sebagai salah satu kuliner andalan Kota Singkawang sambil menyaksikan rombongan barongsai dengan segala tabuhan yang menarik enak didengar nanum hebatnya saat berkumandang Adzan Dhuhur seketika rombongan menghentikan permainan barongsai sebagai bentuk penghargaan terhadap kumandang adzan dan bagi mereka pemandangan ini sudah biasa bukan sesuatu yang aneh tetapi bagi saya yang baru melihat sungguh perilaku yang sangat baik sebagai bentuk penghormatan bagi ummat Islam yang akan melaksanakan sholat dhuhur
Belum lagi jika kita menengok bagaimana letak keberadaan tempat ibadah yang saling berdampingan bisa dilihat bagaimana keberadaan Wihara Tri Dharma Bumi Raya yang berseberangan dengan Masjid Raya Singkawang, merupakan salah satu simbol kerukunan antar umat beragama di Singkawang wihara dengan sebutan Pekong Toa ini sudah berumur 200-an tahun, dan selalu dijadikan salah satu pusat perayaan Cap Go Meh di Singkawang. Sementara, Masjid Raya Singkawang sudah berdiri sejak 1885, lalu dipugar lagi pada 1936. Uniknya, bangunan ini termasuk termasuk masjid terbesar di Kota Singkawang bahkan kedua tempat ibadah ini menjadi objek wisata pusat kota yang menarik untuk dikunjungi
Namun perlu kita ketahui kota Singkawang dijuluki sebagai kota toleransi bukan didapat secara instan tetapi hasil sebuah pembelajaran panjang dari rangkaian kisah kisah masa lalu ketika terjadi konflik sosial yang melibatkan masalah diskriminasi etnis dan politik identitas banyak warga Singkawang menjadi saksi hidup betapa tidak nyamannya hidup dalam situasi konflik yang menimbulkan kerugian moril dan materiil bahkan korban jiwa semua ini menjadi pembelajaran yang sangat berharga, dan membekas bagi warga Singkawang bahwa hidup rukun dengan menjunjung tinggi toleransi menjadi sebuah keniscayaan yang kudu dirawat dengan baik alhasil sebagaimana kita saksikan sekarang ini bagaimana Kota Singkawang selalu mendapatkan empat kali meraih penghargaan Kota tertoleran berdasarkan penilaian Setara Institute for Democracy and Peace (SIDP) 4 kali dapat penghargaan kota toleran mulai dari tahun 2020, 2021, 2022, dan 2023 mendapatkan predikat toleransi ini merupakan cermin kerjasama yang baik antara pemerintah Kota, dan stakeholders lainnya baik masa pemerintah sebelumnya dan masa kepemimpinan Wali Kota Tjhai Chui Mie yang menjaga betul soal toleransi pada akhirnya bagi masyarakat kota singkawang toleransi sudah menjelma tak ubahnya sebagai madzhab baru bagi mereka sehingga tidak memerlukan lagi bagaimana teori penerapannya karena bagi mereka sudah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Kota Singkawang dan bahkan secara faktual, toleransi di Singkawang terwujud karena masyarakat dari etnis apapun leluasa untuk mengekspresikan ritual keagamaan ataupun kebudayaan mereka tidak ada peraturan pemerintah, regulasi sosial, peristiwa ataupun tindakan di Kota Singkawang yang membatasi kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi untuk mengaktualisasikan budaya mereka tanpa ada ancaman apalagi intimadasi namun tetap mereka menjunjung tinggi toleransi sebagai bentuk penghormatan atas perbedaan yang ada di Kota Singkawang
Dengan demikian benar adanya bahwa kita harus banyak belajar dengan melihat praktek harmoni kehidupan masyarakat Kota Singkawang yang selalu tertanam dalam pemikiran dan tindakan mereka bahwa tidak ada individu yang dominan di Kota Singkawang dengan demikian maka tenggang rasa dan sikap saling menghargai akan terus terpelihara, terawatt, dan terjaga dengan baik ini sebuah pesan menarik bahwa toleransi yang telah terbangun dengan baik di Kota Singkawang haruslah dipertahankan yang selalu tertanam dalam jiwa setiap insan sesungguhnya jika bicara lebih luas bahwa kehidupan bermasyarakat di Indonesia sudah ditakdirkan untuk berdampingan dalam perbedaan sesuai dengan pengamalan semboyan Bhinneka Tunggal Ika rasanya tepat sekali jika kita harus belajar langsung tentang praktek toleransi dari kota Singkawang dengan sejarah panjangnya hingga menjadi sebuah kota yang madani mencirikan sebagai masyarakat yang berkeadaban dengan penduduknya yang terus-menerus beradaptasi dengan pluralitas dalam suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) menjadikan toleransi bagi mereka bukan lagi sebuah kewajiban tetapi sudah menjadi darah daging bagi kehidupan masyarakat Kota Singkawang yang tidak bisa digoyahkan dengan cara apapun dan Singkawang telah membuktikan keberhasilannya dalam menjaga nilai-nilai persaudaraan, nulai-nila kebersamaan, tenggang rasa , dan toleransi yang seharusnya bisa menjadi contoh bagi Kota-kota lainnya. I Love Singkawang City, it's time to come back again
Demikian semoga bermanfaat