Jangan Suka Melihat Dosa Orang lain Seakan-akan Posisi Dirimu Sebagai Tuhan
"Dalam salah satu hadis sahih dari Abu Hurairah dikisahkan. Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda: "Ada dua orang laki-laki dari bani Isra'il yang saling bersaudara; salah seorang dari mereka suka berbuat dosa sementara yang lain giat beribadah. Orang yang giat beribadah itu selalu melihat saudaranya berbuat dosa hingga ia berkata, "Berhentilah." Lalu pada suatu hari ia kembali mendapati saudaranya berbuat dosa, ia berkata lagi, "Berhentilah." Orang yang suka berbuat dosa itu berkata, "Biarkan aku bersama Tuhanku, apakah engkau diutus untuk selalu mengawasiku!" Ahli ibadah itu berkata, "Demi Allah, sungguh Allah tidak akan mengampunimu atau tidak akan memasukkanmu ke dalam surga." Dikisahkan, Allah kemudian mencabut nyawa keduanya, sehingga keduanya berkumpul di sisi Tuhan semesta alam. Allah kemudian bertanya kepada ahli ibadah: "Apakah kamu lebih tahu dari-Ku? Atau, apakah kamu mampu melakukan apa yang ada dalam kekuasaan-Ku?" Allah lalu berkata kepada pelaku dosa: "Pergi dan masuklah kamu ke dalam surga dengan rahmat-Ku." Dan berkata kepada ahli ibadah: "Pergilah kamu ke dalam neraka." Abu Hurairah berkata, "Demi Dzat yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sungguh ia telah mengucapkan satu ucapan yang mampu merusak dunia dan akhiratnya." (HR Abu Dawud no. 4255)"
Kisah tersebut memberikan sebuah pesan mulia dan sangat menarik namun jangan terjebak dalam lingkar kesalahpahaman dalam menerima pesan yang akan disampaikan jadi siapapun yang benar-benar berdosa jangan kemudian menikmati atas perbuatan dosanya maka berhentilah dari perbuatan dosa itu jauh lebih baik, sebaliknya bagi yang ahli ibadah teruslah beribadah dengan ikhlas tanpa harus menunggu pujian dialamatkan jika tidak mau terjebak dalam perbuatan riya, dan pesan Nabi diatas sudah tingkatan level hakikat dan makrifat sebagai sebuah pembelajaran agar ummat beriman yang alim haruslah selalu rendah hati "tawadhu" serta tidak boleh sombong dengan merasa paling baik dalam menjalankan agamanya, jangan menjadi polisi untuk kebenaran dan amal kebaikan, jangan merasa seolah olah kunci syurga sudah berada dalam genggamannya karena merasa sudah sangat baik dibanding dengan orang lain
Pesan tersebut seolah sedang mengisyaratkan kehidupan zaman kiwari bahwa manusia sering terjebak untuk menikmati lezatnya lisan saat membicarakan dosa atau keburukan yang dilakukan orang lain sehingga tidak sadar bahwa sesungguhnya apa yang dilakukan adalah sedang menampar wajahnya sendiri mari kita mencoba mengingat-ingat beberapa bulan lalu saat akan memasuki masa kampanye pilpres 2024 saat salah satu capres membuat pengakuan dengan jujur bahwa ia masih hoby menonton film blue atau film biru ? atau lebih dikenal dengan istilah film porno atau film orang dewasa alih-alih pengakuan itu mendapatkan apresiasi sebagai orang yang gentlemen malah sebaliknya pengakuan jujur dari salah seorang capres ini menjadi bahan gorengan yang empuk terlebih bagi yang kontra pengakuan spontan ini menjadi salah satu bumbu pemanis untuk menyudutkan bahkan menjadi dalil ketidak layakan untuk menjadi calon pemimpin bangsa pada akhirnya pengakuannya menjadi viral di media social tidak sedikit orang-orang yang turut serta menyebarkan berita ini celakanya seolah-olah yang turut meramaikan kesalahan orang lain itu merasa tidak bersalah sama sekali bahkan sebaliknya merasa bangga telah berhasil menyebarkan aib orang lain, bangga ikut mengkampanyekan kejelekan orang lain yang belum tentu kebenarannya padahal jika kita cermati apa yang disampaikan oleh salah satu cawapres itu terdapat dalam nasihat ulama terdahulu bahwa jauh lebih baik merasa banyak dosa daripada merasa sudah menjadi soleh bukankah pengakuan masih suka bermaksiat jauh lebih menyelamatkan diri dari jebakan berbangga diri dengan syarat diiringi ampunan atas kesalahan dan kita tidak pernah tahu bahwa pengakuan jujur hobi nonon film biru itu adalah hanya sebatas klaim saja
Apa yang disampaikan oleh salah satu Capres teringat akan petuah dari Syaikh Ibnu Athaillah "hiasilah dirimu dengan maksiat dan janganlah dihiasi dengan ketaatan" pesan ini sangat dikenal dalam ilmu tasawwuf namun jangan dimaknai secara harfiyah karena jika dimaknai secara lahiriyah kita akan terjebak untuk menuduh Syaikh Ibnu Athaillah itu sesat atau salah padahal yang dimaksudkan dari nasehat ini adalah sesuatu yang sangat luar biasa kedalaman pesannya bahwa kita jangan merasa sudah sangat baik, banyak amal soleh-nya dibanding dengan yang lainnya namun yang terbaik adalah merasalah selalu banyak dosa dalam hidup ini kenapa demikian? karena kalau manusia merasa paling banyak dosanya senantiasa mawas diri dengan mohon ampun atas dosa yang dilakukannya, terhindar dari memandang rendah orang lain, terhindar dari merasa paling baik dan paling benar, dan akan selalu tampil dalam bingkai maqam faqir' (kekurangan) selalu termotivasi untuk terus belajar dan tidak meremehkan orang lain.
Memegang kebenaran merupakan keharusan (QS Al-Baqarah/2 : 147, tetapi merasa diri paling benar, paling bersih, paling sholeh, dan paling suci wajib dihindari agar tidak terjebak pada sikap berlebihan, hindari dari sikap seolah olah sebagai pengawas dan hakim kebenaran terhadap orang lain, menjadi Malaikat atas orang lain yang belum tentu pihak lain berada di jalan yang sepenuhnya salah, mengapa masih gemar menghakimi orang lain, gemar menghardik, menghukumi, mengalamatkan menyesatkan dan seabreg penilaian negative lainnya untuk orang lain padahal Nabi yang nayata maksum sebagai uswah hasnaah masih begitu rendah hati dan bijaksana dalam beturur dan bersikap
Sebagai penutup dari tulisan sederhana ini bahwa Islam sesungguhnya telah mengajarkan ummatnya agar tidak terjebak menklaim dirinya merasa paling benar, paling bersih, dan memandang pihak lain salah dan kotor Allah SWT telah mengingatkan, "Apakah kami tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih, Sebenarnya Allah mensucikan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun." (QS An-Nisa/4: 49). Sementara Nabi dalam hadis dari Abu Hurairah berkata, "Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya." (HR. Bukhari). Wallahu A'lamu