Tidak terasa sekali pandemi Covid19 telah berlangsung hampir setahun . Perubahan total dari tatanan sosial hingga ekonomi terjadi di semua bidang. Selayaknya seorang ibu, saya mengikuti pembicaraan dan mendengar percakapan dari teman-teman saya yang punya anak generasi milenial baik yang sudah bekerja maupun belum bekerja.
Anak-anak milenial yang sudah bekerja terpaksa harus bekerja di rumah dengan kondisi work from home. Kegiatan sangat berbeda dengan bekerja di kantor. Di kantor, mereka mudah berkomunikasi dengan tim untuk pekerjaan yang butuh sinergi dan tanya jawab pun sangat mudah dilakukan tanpa harus menunggu jawaban. Bagi yang pemula pun dapat terus berkomunikasi dengan rekan senior untuk menanyakan pekerjaan secara detail. Apabila masih belum jelas juga, mereka tak sungkan, langsung datang ke senior atau atasannya. Tak ada batas ruang dan waktu. Bahkan di saat siang hari saat istirahat pun bisa berkomunikasi satu sama lainnya. Meeting lebih mudah dengan tatap muka karena bisa lebih memahami gerakan atau gestur tubuh yang jadi salah satu alat komunikasi.
Sekarang para anak muda, hanya berkutat di sebuah ruang kerja di rumah dengan dikelilingi dinding . Meskipun komunikasi dengan rekan kerja dan atasan tetap dapat dilakukan melalui alat-alat canggih, seperti video call, zoom, tapi tetap saja nuansa kedekatan fisik itu tetap tidak ada sehingga memunculkan persepsi yang di luar pemikiran.
Apalagi bagi mereka yang bidang pekerjaannya bukan teknologi, bekerja di rumah itu suatu keniscayaan. Mereka yang bekerja di bidang marketing, bertemu dengan klien, harus mengubah pola komunikasinya dan perlu memahami apakah klien tidak keberatan untuk berbicara melalui teknologi, ada sebagian klien yang merasa canggung untuk bertemu dengan pola tekenologi baru.
Dalam riset yang terbaru oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO ) pada bulan April 2020, dinyatakan bahwa ada 114 juta peekerja telah kehilangan pekerjaannya. Sebanyak 33 juta di antaranya jadi pengangguran dan sisanya jadi pekerja inaktif.
Lanjut dari survei yang diadakan oleh lembaga yang sama kepada 3.615 responden berusia 18-29 di lima wilayah di dunia, satu dari enam respoden menyebutkan berhenti bekerja sejak pandemi, 6.5% kehilangan pekerjaan dan 10,5% berstatus pekerja tetapi tanpa jam kerja .
Jumlah pengangguran yang cukup besar itu menunjukkan bahwa terdapat tantangan berat bagi anak-anak muda dalam menghadapi perubahan pola kerja perusahaan .
Disrupsi Teknologi
Penggangguran terjadi sejak covid, akhirnya perusahaan pun mulai mengoptimalkan dan mengadopsi dan mempercepat teknologi untuk proses pekerjaan.
Hal ini tentu menimbulkan kehilangan sejumlah jenis pekerjaan dan pengurangan karyawan . Hanya karyawan yang punya skill teknologi dan punya kemampuan adaptasi akan tetap jadi pegawai.
Seorang gadis di suatu gerai fashion yang punya brand luar, berteriak-teriak memanggil nama brandnya di depan gerai. Seolah-olah dia menawarkan barang jualannya seperti ditengah banyaknya orang yang lalu lalang di suatu mall. Menyedihkan di satu sisi karena dia berusaha keras agar ada pembeli mampir di gerai yang sepi itu. Di sisi lain, dia sudah berusah keras untuk menarik pembeli, tapi tidak tepat caranya.
Survei membuktikan bahwa ada 85 juta pekerjaan digantikan oleh mesin. Ada 97 jenis pekerjaan baru dengan penyesuaian mesin yang jadi alat bantu utamanya,.