Lihat ke Halaman Asli

Dalam Hujan Tanpa Akhir

Diperbarui: 3 Agustus 2024   19:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://lampung.nu.or.id/

Bulan tergantung redup di langit, dan hujan turun tanpa henti di malam kelam itu. Di sebuah rumah kayu yang sudah rapuh, tinggal dua kakak beradik, Dimas dan Rina. Mereka yatim piatu, kehilangan kedua orang tua mereka akibat kecelakaan tragis beberapa tahun silam. Sejak saat itu, hidup mereka dipenuhi dengan perjuangan dan kesulitan.

Dimas, yang lebih tua, berhenti sekolah untuk bekerja sebagai buruh di pasar, memikul beban yang lebih besar dari usianya. Sementara itu, Rina, yang masih bersekolah, berusaha keras untuk tetap belajar meski sering kelaparan. Makan hanya dari sisa-sisa yang bisa mereka dapatkan, hidup mereka jauh dari kata nyaman.

Di tengah semua kesulitan itu, mereka tetap saling mendukung. Dimas selalu memastikan Rina bisa melanjutkan sekolah, meski dengan seragam yang sudah lusuh dan buku-buku pinjaman. "Kamu harus tetap sekolah, Na," ujar Dimas setiap kali Rina merasa putus asa. "Kita harus keluar dari kemiskinan ini."

Namun, kenyataan hidup tidak sebaik harapan mereka. Penghasilan Dimas yang minim sering kali tidak cukup untuk membeli makanan yang layak, apalagi membayar kebutuhan lainnya. Mereka sering menahan lapar dan kedinginan. Tubuh mereka semakin kurus dan lemah, tapi semangat Dimas untuk menjaga adiknya tetap berkobar.

Di tengah malam yang dingin, ketika hujan deras menghantam atap rumah mereka yang bocor, Dimas terserang demam tinggi. Tanpa uang untuk berobat, Rina hanya bisa merawat kakaknya dengan cara seadanya. Dia menggigil ketakutan melihat Dimas terbaring lemah, wajahnya pucat, matanya yang biasanya penuh semangat kini tertutup rapat.

"Maaf, Na," bisik Dimas dengan suara serak. "Aku belum bisa memberikan kehidupan yang lebih baik untukmu."

Rina menggenggam tangan kakaknya erat-erat. "Kak, jangan bicara seperti itu. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Aku bangga punya kakak seperti kamu."

Hari-hari berlalu, dan kesehatan Dimas semakin memburuk. Rina yang masih kecil tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya bisa menangis di sudut kamar, memeluk tubuh kakaknya yang kian melemah. Setiap tetes air mata yang jatuh menambah beban di hatinya. Ia tahu, dunia mereka semakin gelap, dan harapan semakin tipis.

Di puncak penderitaan, datanglah bantuan dari tetangga yang mengetahui kondisi mereka. Namun, semua sudah terlambat. Ketika akhirnya mereka dibawa ke rumah sakit, nyawa Dimas tidak bisa diselamatkan. Rina yang masih terkejut dan berduka, harus menerima kenyataan pahit kehilangan satu-satunya keluarga yang tersisa.

Kini, Rina harus menghadapi dunia sendirian. Setelah kematian Dimas, ia tinggal di panti asuhan. Di sana, meski mendapat perlindungan, hatinya terasa hampa. Kehilangan kakaknya membuatnya terpuruk dalam kesedihan yang dalam. Dia berhenti sekolah dan menolak berbicara dengan siapa pun, merasa dunia telah merampas segalanya darinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline