Aku selalu percaya bahwa cinta adalah perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian. Namun, keyakinanku diuji ketika aku berusaha menggapaimu, seseorang yang tak pernah menyukaiku.
Kita bertemu pertama kali di kampus, saat aku terlambat masuk kelas dan satu-satunya kursi kosong berada di sebelahmu. Sejak saat itu, aku terpikat oleh pesona dan keramahanmu. Kamu adalah bintang di kampus, disukai banyak orang, selalu tersenyum dan ramah kepada siapa pun. Sementara aku? Aku hanyalah bayang-bayang yang tak pernah kamu lihat.
Hari-hari berlalu, dan aku berusaha mendekatimu. Aku ikut berbagai kegiatan kampus hanya untuk bisa berada di sekitarmu. Aku mengumpulkan keberanian untuk memulai percakapan, meski akhirnya hanya berakhir dengan basa-basi singkat. Setiap kali aku melihatmu tersenyum pada orang lain, hatiku terasa tertusuk. Namun, aku tetap bertahan, berharap suatu hari kamu akan melihatku.
Aku mulai menulis puisi untukmu, meski tak pernah berani memberikannya. Setiap kata yang kutulis adalah ungkapan perasaanku yang tak pernah terucap. Aku menyimpan semua puisi itu dalam buku harian, berharap suatu hari akan ada kesempatan untuk menyerahkannya padamu. Namun, hari demi hari berlalu, dan keberanianku tak pernah cukup besar untuk melangkah lebih jauh.
Suatu hari, aku mendengar kabar bahwa kamu sedang dekat dengan seseorang. Hancur rasanya hatiku, tapi aku tak pernah berhenti berharap. Aku mencoba lebih keras lagi untuk menarik perhatianmu. Aku memperbaiki penampilanku, mencoba menjadi lebih menarik, lebih lucu, lebih berani. Tapi semua usaha itu terasa sia-sia. Kamu tetap tidak pernah melihatku lebih dari sekadar teman.
Meskipun begitu, aku tak bisa melepaskan perasaanku. Aku terus mendekatkan diri padamu, meski aku tahu di dalam hati bahwa kamu tidak pernah melihatku sebagai lebih dari seorang teman. Aku ada di setiap momen pentingmu, selalu mendukungmu dari belakang, meski kamu tak pernah menyadarinya.
Kemudian datanglah saat yang paling menyakitkan. Kamu akhirnya resmi bersama dengan seseorang. Aku melihatmu bahagia, dan itu adalah saat terberat bagiku. Namun, aku berusaha tersenyum, mencoba menyembunyikan luka di hatiku. Aku terus menjadi teman baikmu, mendengarkan ceritamu tentang dia, meski setiap kata yang keluar dari mulutmu seperti pisau yang menusuk hatiku.
Waktu berlalu, dan hubunganmu dengan dia semakin serius. Aku tahu saat itu aku harus melepaskan perasaanku. Aku harus merelakanmu, meski rasanya seperti kehilangan bagian dari diriku. Aku memutuskan untuk menjauh, mencari jarak yang bisa menyembuhkan luka di hatiku.
Selama beberapa bulan, aku mencoba melupakanmu. Aku fokus pada diriku sendiri, pada impian dan harapanku yang lain. Tapi bayangmu selalu ada di setiap sudut pikiranku. Aku bertanya-tanya, apakah kamu pernah sedikit saja menyadari perasaanku? Ataukah aku hanyalah bayangan yang tak pernah kamu lihat?
Akhirnya, aku memutuskan untuk menulis surat terakhir untukmu. Aku menuliskan semua perasaanku, semua kenangan yang kita alami bersama. Aku menulis tentang betapa aku mencintaimu, meski kamu tak pernah menyukaiku. Aku tahu surat ini mungkin tidak akan mengubah apa pun, tapi setidaknya aku bisa melepaskan semua yang ada di hatiku.