Lihat ke Halaman Asli

Wang Sinawang

Diperbarui: 24 Juli 2024   17:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://aksi.pusmendik.kemdikbud.go.id

Di bawah langit biru yang terbentang luas, aku dilahirkan di kota yang penuh kenangan, Semarang. Setiap sudutnya menyimpan cerita masa kecil yang manis. Dari gemerlap lampu Simpang Lima yang menjadi saksi malam-malam penuh canda, hingga suara riuh pasar Johar yang menyambut pagi dengan semangat. Di sinilah aku mengenal arti kebersamaan dan kehangatan keluarga. 

Semarang bagiku bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah rumah dengan sejuta kenangan yang melekat erat dalam jiwa. Setiap pagi, aku terbangun oleh nyanyian burung-burung yang bersahutan di pepohonan sekitar rumah. Aku berlarian bersama teman-teman di gang sempit, bermain layangan dan mencuri-curi pandang pada gadis tetangga yang selalu tersenyum malu-malu.

Namun, hidup adalah serangkaian perjalanan yang penuh dengan perubahan. Ketika lulus SMA, aku diterima di salah satu universitas terkemuka di Bandung. Keputusan untuk melanjutkan studi di sana bukanlah hal mudah. Keluargaku bangga, tetapi ada sekelumit rasa enggan untuk meninggalkan tanah kelahiran. Semarang telah memberiku banyak hal, dan aku takut akan melupakannya.

Bandung, kota yang sejuk dan penuh kreativitas, menyambutku dengan tangan terbuka. Di sini, aku menemukan dunia baru. Kuliah di Bandung membuka mataku akan berbagai hal yang belum pernah aku temui di Semarang. Budaya, cara berpikir, dan cara hidup yang berbeda membuatku merasa seperti seorang penjelajah di negeri asing. Aku tenggelam dalam kesibukan kuliah, aktivitas organisasi, dan kehidupan mahasiswa yang dinamis.

Namun, di balik semua kesibukan itu, aku sering merasa hampa. Rindu pada Semarang selalu mengintai, terutama saat malam menjelang. Kenangan masa kecil berkelindan dalam benak, mengingatkanku pada setiap detil kota yang begitu aku cintai. Tapi aku tahu, keputusan untuk belajar di Bandung bukan berarti aku melupakan Semarang. Bagiku, ini adalah bagian dari perjalanan untuk mencari jati diri.

Sayangnya, tidak semua orang melihatnya seperti itu. Teman-teman di Semarang menganggap aku telah melupakan mereka, melupakan kota yang telah membesarkan aku. Mereka melihatku sebagai seseorang yang berubah, seseorang yang lebih memilih kehidupan baru di Bandung. Pepatah Jawa "wang sinawang" sering terlintas di benakku. Orang hanya melihat luarnya saja, tanpa memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Satu malam, aku menerima telepon dari ibu. Suaranya terdengar lembut namun penuh kerinduan. "Nak, kapan kamu pulang? Kami semua rindu," katanya. Ada jeda sejenak sebelum ia melanjutkan, "Teman-temanmu di sini juga sering menanyakan kabar."

Percakapan singkat itu menyadarkanku bahwa betapa pun jauhnya aku pergi, rumah selalu menanti kepulanganku. Dengan tekad bulat, aku memutuskan untuk pulang ke Semarang saat liburan semester tiba. Rasa rindu yang membuncah membuat perjalanan pulang terasa lebih bermakna.

Sesampainya di Semarang, aku disambut dengan hangat oleh keluarga dan teman-teman. Namun, aku bisa merasakan ada jarak yang terbentuk di antara kami. Beberapa dari mereka menganggap aku telah menjadi "orang Bandung" yang lupa akan asalnya. Hal ini membuat hatiku perih, tetapi aku berusaha untuk tetap tersenyum.

Malam itu, aku mengundang beberapa teman dekat untuk berkumpul di rumah. Kami duduk di teras, menikmati angin malam yang berhembus lembut. Aku mencoba membuka percakapan dengan menceritakan pengalamanku di Bandung, tetapi reaksi mereka terasa dingin. Salah satu dari mereka, Budi, akhirnya angkat bicara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline