Lihat ke Halaman Asli

Derita dari Masa Lalu

Diperbarui: 23 Juli 2024   10:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok.pri

Ketika tubuhku tak lagi merasakan apa-apa selain rasa sakit yang luar biasa, aku sadar bahwa aku telah berada di tempat yang tak pernah kubayangkan sebelumnya: neraka. Api yang berkobar-kobar mengelilingiku, menyiksa setiap inci tubuhku tanpa ampun. Jeritan-jeritan kesakitan dari jiwa-jiwa yang terperangkap di sini menggema, menciptakan simfoni horor yang tak berkesudahan.

Aku terlempar ke dalam lautan api, ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat namun sangat kuat. Tubuhku terbakar, kulitku melepuh, dan dagingku meleleh. Tapi anehnya, aku tidak mati. Rasa sakit ini terus berlanjut, seolah-olah kematian adalah kemewahan yang tidak bisa kudapatkan.

Di tengah penderitaanku, aku mendengar suara yang sangat familiar. Suara yang begitu akrab dan begitu menyakitkan. Suara yang telah lama terkubur dalam ingatanku. Aku membuka mataku yang terbakar, mencoba mencari sumber suara itu di antara kobaran api.

Di hadapanku, ada bayangan seseorang yang berdiri tegak. Wajahnya penuh luka bakar, namun aku mengenalinya dengan jelas. Sahabatku, Bima. Kami dulu seperti saudara, tak terpisahkan. Namun, semua berubah ketika kami terlibat dalam kejahatan yang mengerikan.

"Rian?" Suaranya serak dan penuh penderitaan. "Kamu juga di sini?"

Aku mengangguk, tak mampu berkata-kata. Air mata bercampur darah mengalir di wajahku. Bayangan kejahatan masa lalu kami kembali menghantui pikiranku. Aku ingat bagaimana kami merampok rumah seorang pria tua, bagaimana kami memukulnya tanpa ampun hingga dia tewas. Itu adalah malam yang mengubah segalanya, malam di mana kami menjual jiwa kami kepada setan.

"Aku pikir kita akan selamanya lolos," kata Bima dengan suara getir. "Ternyata tidak ada yang bisa lari dari karma."

Kami berdua terdiam, membiarkan rasa sakit fisik dan mental menguasai kami. Neraka ini bukan hanya tentang api yang membakar tubuh kami, tetapi juga tentang penyesalan yang membakar jiwa kami. Setiap detik di sini adalah pengingat akan dosa-dosa kami, setiap jeritan adalah pengakuan atas kejahatan yang telah kami lakukan.

"Kita harus bertahan, Rian," kata Bima dengan suara yang lebih tegas. "Kita harus menghadapi ini bersama."

Aku mengangguk, meskipun hati kecilku meragukan kemampuan kami untuk bertahan. Namun, hanya dengan berpikir bahwa aku tidak sendirian, bahwa sahabatku ada di sini bersamaku, memberiku sedikit kekuatan. Kami berjalan beriringan di antara lautan api, mencari sedikit kedamaian di tengah-tengah neraka ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline