Lihat ke Halaman Asli

Di Balik Kebencian

Diperbarui: 20 Juli 2024   09:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tafsiralquran.id

Semuanya dimulai pada hari pertama sekolah menengah pertama. Aku, Rian, adalah anak yang cerdas dan populer. Segala sesuatu berjalan mulus hingga dia datang---Anisa, tetangga baru yang juga teman sekelasku. Anisa adalah gadis yang pendiam, pemalu, dan kerap kali mengenakan kacamata tebal yang membuatnya terlihat culun. Entah kenapa, sejak pertama kali bertemu, aku merasa tidak suka padanya. Ada sesuatu tentang Anisa yang membuat darahku mendidih.

Di sekolah, Anisa selalu menonjol dalam hal akademik. Dia kerap kali menjadi sorotan guru karena prestasinya, dan itu membuatku merasa tersaingi. Sementara di rumah, Anisa sering kali terlihat membantu ibunya berkebun atau merawat adik-adiknya dengan penuh kasih sayang. Ini semakin membuatku muak, melihat betapa sempurnanya hidupnya tampak dari luar.

Kebencianku pada Anisa semakin memuncak seiring berjalannya waktu. Aku mulai melakukan hal-hal kecil untuk mencelakakannya. Misalnya, aku sering menjebaknya dengan menyebarkan gosip buruk tentangnya atau bahkan mencuri buku catatannya sebelum ujian. Pernah suatu kali, aku memasukkan pecahan kaca ke dalam sepatunya. Namun, yang terjadi justru di luar dugaanku. Bukannya mengadu atau marah, Anisa hanya diam dan mengganti sepatunya dengan yang baru. Bahkan, dia tetap tersenyum padaku seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Waktu berlalu, dan kebencianku semakin dalam. Aku tidak mengerti mengapa Anisa tidak pernah membalas dendam atau bahkan mengadukan perbuatanku pada guru. Ada saat-saat di mana aku merasa bersalah, namun segera kuabaikan perasaan itu.

Memasuki masa remaja, kebencianku bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih gelap. Satu malam, setelah sebuah pesta sekolah, aku memutuskan untuk menakut-nakuti Anisa. Aku tahu dia sering pulang larut malam karena kegiatan ekstrakurikuler. Malam itu, aku bersembunyi di balik semak-semak dekat rumahnya, menunggu dia pulang.

Ketika Anisa melintas, aku melompat keluar dan mengayunkan pisau mainan yang tampak sangat nyata. Anisa terkejut dan jatuh terduduk. Aku tertawa terbahak-bahak melihatnya ketakutan. Namun, tawa itu segera mereda ketika aku melihat ada darah mengalir dari lututnya yang tergores karena terjatuh.

"Apa yang kamu lakukan, Rian?" Anisa bertanya dengan suara gemetar. Matanya yang biasanya tenang kini penuh dengan air mata. 

Entah kenapa, malam itu aku merasa ada yang berbeda. Aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya---penyesalan. Namun, alih-alih meminta maaf, aku hanya menatapnya dingin dan berjalan pergi meninggalkannya dalam kegelapan.

Waktu terus berjalan. Kini kami sudah dewasa dan berkuliah di universitas yang sama. Aku masih sering melihat Anisa di kampus, tetapi kini ada sesuatu yang berbeda tentangnya. Dia masih tetap pendiam, namun ada aura kekuatan yang terpancar dari dirinya. Dia terlihat lebih dewasa, lebih matang, dan lebih cantik dari sebelumnya.

Suatu hari, aku menerima telepon dari ibuku yang meminta bantuanku untuk mengantarkan makanan ke tetangga kami yang sakit. Tanpa kusadari, tetangga yang dimaksud adalah keluarga Anisa. Ayahnya sedang dirawat di rumah karena penyakit parah. Dengan enggan, aku pergi ke rumah Anisa untuk menyerahkan makanan itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline