Fajar baru saja menyingsing di kota kecil tempat tinggalku. Cahaya matahari pagi menerobos melalui celah-celah jendela kamarku, menciptakan bayangan yang bergetar di dinding. Aku duduk di tepi tempat tidur, memandangi foto di tangan. Foto itu adalah gambar keluarga kami, diambil beberapa tahun lalu sebelum semua berubah.
Nama saya Rian. Dahulu, saya adalah anak yang ceria dan penuh semangat. Namun, hidup saya berubah drastis ketika saya membuat kesalahan terbesar dalam hidup saya---kesalahan yang tidak hanya menghancurkan diriku sendiri, tetapi juga keluargaku.
Itu adalah malam yang dingin di bulan Desember ketika semuanya terjadi. Saya baru saja pulang dari pesta ulang tahun seorang teman. Malam itu, saya minum terlalu banyak dan nekat mengemudi dalam keadaan mabuk. Saya tidak bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi, tetapi yang saya tahu, saya kehilangan kendali atas mobil dan menabrak sesuatu dengan keras.
Ketika saya sadar, saya sudah berada di rumah sakit dengan luka ringan. Namun, rasa sakit yang saya rasakan tidak sebanding dengan kabar yang saya terima kemudian. Dalam kecelakaan itu, saya menabrak seorang pejalan kaki, seorang pria tua yang tidak berdosa. Pria itu adalah Pak Harun, tetangga kami yang dikenal baik dan ramah. Sayangnya, nyawanya tidak tertolong.
Berita tentang kecelakaan itu tersebar cepat di kota kecil kami. Keluarga Pak Harun hancur, dan begitu pula dengan keluargaku. Ibuku menangis setiap malam, dan ayahku tidak pernah memandangku dengan cara yang sama lagi. Saya merasa seperti orang asing di rumahku sendiri.
Rasa bersalah yang menyelimuti diriku begitu kuat. Saya tidak bisa tidur atau makan dengan baik. Setiap kali saya menutup mata, saya bisa melihat wajah Pak Harun dan mendengar jeritan keluarganya. Saya mencoba mencari penghiburan dalam alkohol, berharap dapat melupakan sejenak rasa sakit itu, tetapi kenyataannya malah sebaliknya. Minuman keras hanya membuat semuanya semakin buruk.
Saya mulai menjauh dari teman-teman dan keluargaku. Saya berhenti bekerja dan mengurung diri di kamar, terperangkap dalam pusaran rasa bersalah dan penyesalan. Kehidupan saya yang dulu penuh warna kini berubah menjadi kelam dan hampa.
Suatu hari, ketika saya sedang berjalan tanpa tujuan di taman kota, saya melihat putri Pak Harun, Lisa. Lisa adalah gadis yang kuat, selalu ceria meski hidupnya tidak mudah. Namun, hari itu saya melihat air mata mengalir di pipinya. Rasa bersalahku semakin menguat.
Dengan berat hati, saya mendekatinya. "Lisa, aku... aku minta maaf," kataku dengan suara bergetar. "Aku tahu kata-kata ini tidak akan pernah cukup, tetapi aku benar-benar menyesal."
Lisa menatapku dengan mata merah dan bengkak. "Rian, tidak ada yang bisa mengembalikan ayahku. Apakah kamu tahu betapa sulitnya hidup kami sekarang? Ibu dan adikku sangat terpukul. Kami kehilangan pilar utama dalam keluarga kami."