Lihat ke Halaman Asli

Inas Sajidah

Mahasiswi

Peran Psikologi Agama dalam Pendidikan Karakter

Diperbarui: 6 Februari 2024   10:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan karakter memegang peranan penting dalam pengembangan individu secara holistik dimulai sejak usia dini. Dalam Islam, pembentukan manusia tangguh yang berintegritas dan berakhlak mulia sangat dipengaruhi oleh pendidikan karakter sejak dini. Artikel ini berupaya menjelaskan peran psikologi agama dalam pendidikan karakter sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, mengingat pentingnya menanamkan pendidikan karakter sejak usia dini, dan memberikan taktik dan metodologi yang selaras dengan ajaran Islam untuk membina pengembangan karakter.

Gagasan tentang pendidikan karakter dalam Islam memiliki asal usul yang mendalam dan terkait erat dengan doktrin-doktrin iman Islam. Islam tidak hanya mencakup praktik ritualistik, tetapi juga menanamkan ajaran moral, etika, dan karakter yang kuat kepada pemeluknya. Pendidikan karakter dalam Islam tidak hanya mencakup perilaku yang tampak kasat mata, tetapi juga penanaman karakter kejiwaan yang tangguh. Dalam Islam, pendidikan karakter dianggap sebagai komponen penting dalam kehidupan sehari-hari yang membentuk perilaku, sikap, dan perilaku individu dalam interaksinya dengan diri sendiri, sesama manusia, dan kepada Allah sebagai Tuhan alam semesta.

Islam sangat menekankan pada penanaman karakter yang kuat dan berbudi luhur. Pendidikan karakter dalam Islam tidak hanya mencakup ranah akademik saja, namun juga menekankan pada penanaman prinsip-prinsip etika, moral, dan spiritual yang kuat. Gagasan Islam tentang pendidikan karakter mencakup banyak dimensi, termasuk tauhid (kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa), etika dan moralitas, adab, dan akhlakul karimah.

Dalam konteks Islam, psikologi agama melihat manusia sebagai makhluk yang rumit, meliputi aspek fisik, emosional, intelektual, dan spiritual. Landasan utama psikologi agama Islam ada pada gagasan fitrah, yang mengacu pada kecenderungan bawaan manusia untuk mengakui dan terlibat dalam ibadah kepada Tuhan. Konsep fitrah menjadi landasan keyakinan dan etika manusia, yang kemudian dibentuk dan diperkuat oleh faktor lingkungan dan pendidikan. Psikologi agama mengakui pentingnya faktor lingkungan, seperti keluarga, sekolah, dan masyarakat, dalam membentuk karakter anak sesuai dengan keyakinan Islam.

Kata syakhshiyah (kepribadian) semakin populer dalam literatur psikologi Islam, terutama karena persinggungan antara psikologi masa kini dan kebutuhan akan kemajuan wacana Islam. Ketidakpekaan wacana Islam terhadap penemuan-penemuan ilmiah bukan disebabkan oleh kurangnya kepedulian, melainkan karena kata syakhshiyyah itu sendiri tidak sejalan dengan prinsip-prinsip inti Islam. Prinsip dasar Islam tetap terutama pada hakikat akhlak seseorang. Menurut ajaran Islam, individu terdiri dari unsur fisik, spiritual, dan psikologis. Ketiga senyawa ini dapat dengan mudah dibedakan, namun tidak dapat diisolasi secara efektif.

Bagian material manusia adalah substansi fisiknya. Manusia mempunyai kemampuan untuk mempersepsikan bentuk dan keberadaan fisiknya, termasuk berbagai komponen tubuh seperti tangan, kaki, mata, telinga, dan lain sebagainya. Sederhananya, ini mencakup penataan makhluk hidup yang berwujud. Organisme fisik manusia menunjukkan tingkat kesempurnaan yang lebih tinggi dibandingkan organisme fisik spesies lain. Semua makhluk hidup terdiri dari komponen dasar yang sama, yaitu tanah, air, api, dan udara. Keempat unsur tersebut terdiri dari materi abiotik. Jika ia dibekali energi kehidupan fisik (al-Thqah al-Jismiyyah), ia akan bertahan hidup. Kekuatan vital ini kadang-kadang disebut sebagai kehidupan, karena keberadaan manusia dianimasikan. Melalui kemampuan tersebut, tubuh manusia mampu mengalami banyak sensasi biologis tubuh seperti pernapasan, nyeri, kepekaan suhu, persepsi rasa, haus, lapar, dan lain-lain.

Sedangkan substansi spiritual adalah substansi psikologis yang melekat pada diri manusia yang merupakan hakikat hidup. Konsep "roh" dalam terminologi psikologi berbeda dengan konsep "roh batin". Meskipun "roh" terutama berkaitan dengan substansi, "roh batin" lebih berkaitan dengan hasil atau dampak dari roh. Ruh oleh sebagian ahli disebut sebagai tubuh halus, dikenal sebagai substansi sederhana, dan juga mencakup komponen spiritual. Dia adalah katalis bagi keberadaan sisa-sisa manusia. Ia memiliki esensi magis. al-Ghazl menyebutnya sebagai al-Rh al-Jismiyyah, yang mungkin diterjemahkan sebagai ruh material (al-Zubaidi, 1989). Ibn Rusyd menganggap ruh sebagai perwujudan utama kesempurnaan tubuh fisik yang hidup. Kesempurnaan asali muncul dari kemampuan jiwa untuk dibedakan dari kesempurnaan-kesempurnaan lain yang saling melengkapi, seperti yang ditunjukkan dalam beragam aktivitas. Organik mengacu pada keadaan di mana tubuh terdiri dari organ-organ, sehingga istilah "organik" (Zidadat & dkk, 1986).

Terakhir, hakikat Nafsani. Dalam proses penerjemahan, istilah "nafs" sering dipahami dan diterjemahkan sebagai "jiwa" atau "diri" dalam bahasa Indonesia. Namun dalam konteks ini, istilah "nafs" mengacu pada substansi psikofisik manusia, dimana aspek fisik dan spiritual tubuh bercampur untuk menghasilkan potensi yang dapat diaktualisasikan melalui usaha manusia. Setiap komponen yang telah ada mempunyai dinamika yang melekat sehingga berpotensi mempengaruhi perilaku manusia. Realisasi nafs membentuk karakter individu, yang dipengaruhi oleh keadaan internal dan eksternal (Nasr, 1972). Komponen Nafsiyah mempunyai kapasitas bawaan yang terdapat pada psikofisika manusia, yang bersifat intrinsik sejak lahir dan berfungsi sebagai faktor pendorong yang mempengaruhi tingkah laku manusia, meliputi tingkah laku, sikap, ucapan, dan lain-lain.

Tahap awal perkembangan seorang anak sangat penting untuk membentuk karakter individu. Selama fase ini, anak memiliki kapasitas luar biasa untuk mengasimilasi nilai-nilai dan pola perilaku dengan cepat. Oleh karena itu, penanaman pendidikan karakter sejak usia dini memainkan peran penting dalam membangun fondasi kepribadian yang tangguh dan memiliki efek yang long-lasting atau bahkan permanen. Pemaparan dini terhadap pendidikan karakter dapat secara efektif mengurangi perilaku buruk seorang anak di masa depan dan memperkuat landasan moral anak-anak.

Islam menawarkan berbagai taktik dan pendekatan untuk pendidikan karakter anak usia dini. Pendekatan yang efektif adalah dengan memberi mereka contoh yang terpuji. Orang tua dan pendidik harus memberikan keteladanan dalam berperilaku agar anak dapat meneladani dan memperoleh cita-cita yang sehat. Selain itu, pendidikan karakter anak usia dini dapat difasilitasi dengan penggunaan narasi moral, melodi Islami, dan latihan inovatif yang menanamkan prinsip-prinsip etika Islam dan nilai-nilai moral dengan cara yang menyenangkan dan menarik.

Ainiyah, N. (2013). Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam. Al-Ulum, 25-38.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline