Malam muncul dengan sendirinya setelah matahari terbenam diupuk barat, jarum jam masih saja berputar hingga saat itu menunjukan pada angka 20:05 Wib, aku sampai di RSUD Abdya maksud membawa pasien JKA (Jaminan Kesehatan Aceh) dengan menumpak mini bus jenis L-300 karena tidak mendapatkan Ambulance, sebab pihak pasien tidak memiliki dana talangan (uang gantung) sebanyak Rp.1.852.000. hanya bermodal surat rujukan aku membawa pasien itu ke Banda Aceh dirujuk ke RSUD Zainoel Abidin.
Pasien tersebut bernama Pak Ali Rejo Mattaher (85 thn) ± 12 tahun lalu kakinya digelis mobil rio, pada saat itu Aceh masih dalam gejolak konflik antara Pemerintah RI dengan GAM. Pak Ali salah satu korban dari perang itu. Kini dia menanggung sendiri kesakitan akibat infeksi dari besi yang dipasang dibetisnya beberapa tahun lalu, lelaki itu dulunya tinggal di Subulussalam sewaktu konflik, berbagai upaya telah dilakukan disana untuk mendapatkan bantuan pengobatannya, hingga kemudian anaknya Sumardi pun kenak hantam dari Aparat Keamanan ketikan mengurus surat penangkapan sebagai salah satu syarat mendapatkan bantuan pengobatan.
Trauma dan putus asa itulah yang dialami oleh Pak Ali bersama anaknya hingga mereka hijra ke kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) dikampung istrinya Sumardi di Gampong Pasar Kota Bahagia kecamatan Kuala Batee, 5 (lima) tahun sudah mereka berada di Kuala Batee dan selama itu pula mereka tidak mengurus lagi bantuan untuk kesembuhan kaki kanan Pak Ali yang digilas ban mobil rio ketika konflik dulu.
Sabtu siang tanggal 26 Maret 2011, jam 12:49 WIB, aku lagi asyik ngopi disalah satu warung kopi diantrian Labi-labi jurusan Lama Inong – Babahrot, ketua persatuan Labi-labi itu bernama Wak Nong (nama panggilannya), dialah yang bercerita panjang lebar hingga dikatakanlah bagaimana caranya menyembuhkan kaki Pak Ali yang berasal dari keluarga miskin itu. Aku hanya berkomentar bahwa pendidikan dan kesehatan di Aceh itu gratis. Aku pun mendapat panggilan hati untuk mendampinginya berhubung Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Perwakilan Abdya itupun sudah terbentuk, yang sekarang terfokus pada pendampingan pasien JKA dan JAMKESMAS.
Hari pertama membawa pasien kerumah sakit RSUD Abdya atau lebih dikenal oleh masyarakat itu RS Korea, sangat dikejutkan oleh pihak Adm Loket RS yang katanya bahwa jika pasien yang dibawa dan dirujuk ke Banada Aceh maka pihak pasien harus ada uang gantung sebanyak Rp.1.852.000, jika tidak memiliki uang maka tidak dapat mengunakan ambulance, aku membantah dengan memperlihatkan manlak JKA, bahwa pasien JKA tidak boleh diminta uang dengan alasan apapun dalam memberikan pelayanan kepada pasien JKA. Saya tidak tahu akan hal itu kata perempuan yang duduk diloket tersebut dengan alasan dia baru saja di mutasi dari dinas kehutanan. Berarti dengan siapa yang harus aku jumpai untuk mempertanyakan jawaban itu dan bisa diambil sebuah kebijakan, dengan direktur dan pengelola RS ini kata perempuan tadi yang duduk dibagian Adm Loket RS Korea, bisa aja dijumpai karena hari ini minggu jadi kantor tutup.
Hari sabtu sore sehabis pulang dari rumah pak Ali, aku langsung ke Puskesmas Kuala Batee dan langsung bertemu dengan dokter Fauzi, beliau pun sangat terkejut dengan kondisi pasien yang selama ini mereka tidak mendapatkan laporan, akhirnya kami janjian untuk kembali kerumah pasien esok hari sekitar jam 09:00. Dokter Fauzi esok harinya langsung kerumah pasien bersama dengan kami, setelah berbicara sebentar beliau langsung menelpon ambulan puskesmas dan mengambil surat rujukan agar segera dibawa ke RS korea.
Senin pagi jam 10:10 Wib aku langsung mengisi buku tamu ruang sekretaris direktur RS, sekitar satu setengah jam menunggu akhirnya dapat masuk juga keruangan yang ber Ac itu, drg. Cut Nandalia nama direktur rumah sakit tersebut, setelah memperkenalkan diri dan mengatakan maksud dan tujuan sehingga beliaupun menelpon pengelola RS yaitu dr. Yenni, dalam ruang itu kami berbicara berempat karena aku datang membawa seorang kawan yang bernama Tanin. Setelah panjang lebar aku jelaskan tentang kondisi pasien dan bahwa pasien akan dirujuk ke RSUD ZA namun kendalanya pihak pasien tidak memiliki uang gantung sebanyak Rp.1852.000, jawabannya juga sama dengan penjaga loket Adm RS itu, jika pasien tak memiliki uang maka kami tidak dapat merujuk pasien tersebut, sebab PT. Askes tidak mau menguncurkan dana diawal tetapi PT. Askes akan mengirim uang setelah kita kirim kwitansi pembayaran kepihak mereka baru beberapa bulan kemudian uang itu akan diganti, emang uang itu berapa bulan akan dikembalikan kepada pihak pasien, oh itu kami tidak bisa menjanjikannya.
Lain halnya dengan pernyataan ibu Rita bendahara loket RS, darurat atau tidak darurat jika pasien tidak memiliki uang gantung maka tidak dapat mengunakan ambulan, lalu aku pun menelpon Kadis Kesehatan yaitu pak Khadri, saran beliaun itu semua kebijakan ada pada direktur RS, jika surat rujukan sudah dikeluarkan oleh dokter maka darurat atau tidak darurat pihak RS sakit harus membawa pasien itu dengan Ambulance.
Selasa tanggal 05 April 2011 jam 06:03 WIB kami sampai di RSUD ZA, namun setelah antri 5 jam baru mendapat keputusan bahwa kaki pak Ali akan dioperasi pada tanggal akhir Juni 2011, dan jam 20:45 pak ali pulang lagi ke Abdya dengan keluarga serta membawa beberapa kekecewaan terhadap pelayanan kesehatan di Aceh. Apakah harus menunggu pasien itu mati dulu baru dapat pertolongan kata Sumardi anak pak Ali.
Salam.
Nasruddin OOS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H