Lihat ke Halaman Asli

[Untukmu Ibu] Teruntuk...

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

471

Teruntuk...

“Purchasing Branch Banjarmasin, selamat pagi, dengan Sinar, bisa di bantu?” seperti itulah aku setiap harinya, jika ada telepon masuk melalui extentionku. Setiap harinya aku berada diantara komputer, printer, telepon, fax dan uang.

nBanjarmasin, 20 Desember 2013, 09.13 PM, ketika ngantuk tak kunjung datang.

Hari ini, sebulan sudah aku bekerja sebagai Purchasing di salah satu Perusahaan Retail terkemuka di Indonesia. Tak ada yang spesial, tak ada pula yang luar biasa. Aku bekerja seperti biasanya, naik turun tangga, ketemu Mbak Ar, minta tanda tangan Pak Mario, dengerin ceramah Pak Harun dan gila-gilaan Bareng anak-anak Human Capital lainnya. Aku bahagia? Entah. Aku rindu? Iya.Sebulan lebih tak melihat wajahmu, wajar bukan, jika anakmu ini menjadi rindu?

Maa... seharian ini otakku benar-benar tidak sinkron. Disatu sisi aku harus menyelesaikan pekerjaan-pekerjaanku, di sisi lain, aku terlalu rindu untuk tak memikirkanmu. Akibatnya, hari dimana tepat sebulan aku bekerja, aku jatuh dari tangga. Tak begitu banyak yang luka memang, tapi aku menangis, rindu memaksaku tuk menitihkan air mata. Aku teringat kamu.

Aku ingat terakhir kali terjatuh adalah ketika aku belajar naik motor, tiga tahun silam. Penyebabnya adalah baju daster yang kupakai terlalu sempit dibagian bawahnya, akibatnya kakiku tak begitu leluasa memainkan motor. Padahal sebelumnya kau sudah melarangku memakai daster itu, dan memintaku menggantinya dengan celana. Tapi dasar anakmu ini tak mau mendengarkan kata-katamu, maka seperti itulah jadinya.

“Makanya, kan mama sudah bilang, dasternya diganti dulu dengan celana! Kamu sih kalau mama bilangin suka ngeyelan.” seperti itulah kira-kira ucapanmu. Aku tahu, kemarahanmu adalah bentuk kasih sayang sebab kekhawatiran yang terlalu hebat. Dan kini, aku rindu mendengarkan kekhawatiran-kekhawatiran lain dari bibirmu, maa.

**

nPalu, 28 Oktober 2013, 11.41 AM, ruang tunggu Bandara Mutiara.

Membayangkan, untuk pertama kalinya berada jauh darimu, seketika sunyi menggenggam lubuk hatiku. Pilu.

Waktu berlalu menjadi begitu pelan, ngilu di hati hadir dengan perlahan. Aku meredam.

Siluet bayangmu hadir di pelupuk mata, memaksaku menumpahkan kristal-kristal kesedihan di pipiku. Maa.. berapa lama kita akan berpisah?

Lalu, diriku yang yang lain berbisik: “Tidak! Aku tak boleh melankolis. Karena aku di lahirkan dari seorang ibu yang kuat. Aku harus kuat juga, kan? Aku hanya perlu bertahan hingga menjadi kuat. Hanya perlu bertahan.”

Maa... sudah benarkah jalan yang aku pilih?

nMakassar, 15 November 2013, 11.37 PM, antara Daya dan Maros.

Hampir tangah malam, maa, tapi kau pasti belum bisa tidur lantaran penyakit Asmamu. Ahh, aku jadi ingat beberapa kali kau ingin tidur dikamarku karena takut kalau-kalau asmamu mengganggu tidur nyenyak bapak. Tapi beberapa kali pula aku mengunci pintu kamarku dan tidur duluan. Maafkan aku, maa. Jika tahu begini rasanya merindukanmu, mungkin setiap malam aku akan membuka pintu kamar itu lebar-lebar agar kau bisa masuk kapan saja. sekali lagi maafkan anakmu yang tidak peka ini, maa.

Ohya, maa, selarut ini aku masih berada di Daya, menuju maros. Mencoba menikmati angin malam, lampu-lampu jalan, juga bisingnya kendaraan lalu lalang di jalanan kota Makassar. Semua itu harus benar-benar kunikmati, sebab besok, aku harus menuju bandara Hasanudin tuk meneruskan langkah ke banjarmasin. Mencari pekerjaan demi sebungkus mie instan dan kebebasan dari predikat “pengagguran” yang telah lama mengikatku.

Maa, jalanan disini masih ramai meski sudah hampir tengah malam, dan aku sudah terbiasa merasakan sepi ditengah keramaian. Namun kali ini berbeda, rasanya lebih sepi dari sebelumnya. Aku benar-benar merasa sendiri. Maka, kucoba turunkan kaca mobil, demi mengusir sepi. Namun gagal. Angin malam terlalu dingin untuk hatiku yang terlanjur beku. Kau tahu, sepi itu sesuatu, maa. Terkadang kita membutuhkannya untuk sekedar introspeksi diri, bercermin pada kesalahan, merenung, atau apa saja. namun saat ini, sungguh, aku tak menginginkannya sama sekali.

nBanjarmasin, 2 Desember 2013 11.48 AM, sesaat sebelum jam istirahat.

Dear mama,

Maa? Bagaimana kabarmu? Tidak terasa, tiga minggu sudah aku di Banjarmasin, itu artinya sudah sebulan lebih kita tidak bertemu.

Ahh... satu bulan terasa begitu lama.

Maa, bagaimana dengan kesehatanmu? Apa asmamu masih sering kambuh? Doaku, semoga Allah memberimu kesembuhan. Aamiin....

Mama, dari lubuk hatiku, aku selalu berharap agar kau sehat selalu, bahagia dan tetap tersenyum. Semoga harapanku diijabah oleh Allah SWT. Aamiin...

Ohya, maa, tau tidak, kemarin aku pergi rekreasi ke Pantai Angsana bareng teman-teman kantor. Sesampainya di pantai, hanya satu kata yang terucap dari bibirku, R i n d u. Aku merinduimu.

Teringat waktu masih di Palu, hampir setiap sore aku menemanimu kepantai, terapi asma. “Katanya berenang di laut bisa menyembuhkan penyakit asma.” begitu penjelasanmu padaku tempo hari. Namun, semenjak aku tak disana, siapa gerang yang menemanimu lagi? De Rama? Ah, dia paling-paling ke Rumah Ipank. Kak Lusi? Dia kan sibuk kuliah, mana ada waktu untuk menemanimu. Bapak? Hmm... Bapak jarang di rumah. Aduhai, mungkinkah kamu disana kesepian?

Maa, teman-teman disini menyenangkan, mereka baik-baik semuanya, aku betah. Hanya saja pekerjaanku disini berat maa. Tapi aku tahu, aku harus bertahan, kan? Anakmu ini harus kuat, kan, maa?

Maa, setiap pulang kantor, yang kudapati hanya tante Yuli. Tante Yuli orang yang Baiiik Banget, dia juga gak pernah marah. Tapi, tetap saja terasa berbeda. jika pulang kantor yang kulihat adalah wajahmu, seperti segala peluh luruh seketika.

Mama... disini aku menjadi semakin akrab dengan airmataku sendiri. Menangis sepertinya menjadi terasa begitu menyenangkan. Namun aku tak ada tempat untuk menikmatinya. Kamarku, dan kamu, maa, dua-duanya tak ada disini. Semuanya hanya ada disana.

Lalu, apa kau tahu dimana akhirnya kutumpahkan kesedihanku? Di kamar mandi maa. Kamar mandi! Hanya di situ? Tentu tidak. Pernah sekali waktu aku menangis sepanjang perjalanan pulang dari kantor, ketika pekerjaan terasa amat berat. Ketika itu kerinduanku padamu menjadi sangat hebat. Maka, menangis menjadi satu-satunya pelampiasanku. Setidaknya, dengan begitu, hatiku menjadi sedikit lebih kuat.

nBanjarmasin, 22 Desember 2013, 06.00 AM,  ketika terbangun karena sebuah pengingat.

Ini hari minggu, hari dimana tak begitu berarti bagi pengangguran, namun begitu berarti bagi anak sekolah dan Purchasing sepertiku. Hanya di hari minggu aku bisa tidur lebih lama dari hari biasanya, plus dapat bonus tidur siang pula. Namun kali ini agak sedikit berbeda, nada pengingat di hapeku membangunkanku tepat pukul 06.00. Kulihat dilayarnya tertulis “perayaan”. Aku cukup bingung, tanggal 22-12-2013 itu adalah perayaan apa? Maka, kuklik tulisan “view” yang terletak disebelah bawah dari layar dihapeku dan muncullah detil perayaan yang dimaksud. Isinya: “M0thers Day” dengan angka ‘0’ sebagai huruf ‘O’nya, yang berarti aku sendiri yang membuat pengingat itu. awalnya aku tak ingat, mengapa membuat pengingat seperti itu. Sampai akhirnya ingatanku membawaku pada kejadian setahun silam, sore hari di depan TV. Hpmu berbunyi pertanda ada sms yang masuk. Itu adalah sms dari kakak Dije, isinya: “Selamat Hari Ibu, Tante Cantiiiik.”, setelahnya, kau menyodorkanku hpmu, lalu berkata: “Hmm... kayaknya mama lebih disayang sama keponakan ketimbang anak sendiri.” Terdengar seperti merajuk. Aku hanya tersenyum malu, lalu menyodorkan tangan dan, “Selamat Hari Ibu, Mamakuuu” sambil menciummu, kemudian memelukmu.

Aku tahu, kejadian seperti ini akan terulang, jika tahun depan aku lupa dengan hari ibu. Maka kubuatlah pengingat di hpku bertuliskan “M0thers Day”. Pengingat itu benar-benar ampuh. Segera kukirimi kau sebuah pesan singkat berisi: “Selamat hari ibu, Maa....” singkat, tanpa kata-kata puitis. Lalu kau balas dengan: “Iya, terimakasih sayang.” singkat pula, namun aku tahu kau pasti sangat terharu. Ahh.... ibu mana yang tak merasa terharu dikirimi ucapan “Selamat Hari Ibu” dari anak yang super cuek dan sangat tidak peka seperti anakmu ini. Benar kan, Maa?

Ini hari ibu yang kesekian, namun apa yang sudah kulakukan untukmu? Tidak ada. Maafkan anakmu ini. Juga, doakan agar aku selalu kuat ya, maa?

SELAMAT HARI IBU.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline