Lihat ke Halaman Asli

Ina Purmini

ibu rumah tangga, bekerja sebagai pns

Jenderal Hoegeng : Etika dan Moralitas Tokoh Bangsa

Diperbarui: 5 Januari 2024   22:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Foto : djkn.kemenkeu)

Tingginya angka korupsi di Indonesia, tidak terlepas dari rendahnya etika dan moralitas pelakunya. Sangat sering kita mendengar seorang pejabat publik, Kepala Desa, Kepala SKPD, Kepala Daerah Kabupaten/Kota/Provinsi, juga para pejabat di Kementerian tertangkap tangan dalam tindak pidana korupsi, diadili dan kemudian divonis. Belum lama ini bahkan seorang Gubernur yang telah divonis, kemudian meninggal dunia dengan status sebagai terpidana. Sungguh akhir dari sebuah perjalanan karier pejabat publik yang sangat menyedihkan. Rasanya kita semu tidak ingin menjalani akhir kehidupan demikian. Namun ternyata itu semua tidak menimbulkan efek jera bagi pejabat publik lainnya. Korupsi terus saja terjadi, tak ada rasa takut apalagi malu. 

Mengapa etika dan moralitas penting dimiliki oleh semua orang, terlebih pejabat publik? Sebab etika, moral atau adab merupakan nilai yang menuntun manusia untuk berbuat baik sesuai hati nurani. 

Sesungguhnya bukan hanya terkait korupsi, tetapi dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam tata pemerintahan bahkan dalam kehidupan manusia pada umumnya  etika, moral dan adab sangatlah  penting. Sebab hal ini merupakan salah satu hal yang membedakan manusia dengan binatang.

Lalu apa hubungannya etika dan moral dengan Jenderal Hoegeng? Hanya ingin mengingatkan bahwa kita pernah memiliki seorang Jenderal yang sangat menjunjung tinggi nilai etika dan moralitas sebagai pejabat publik. Kita pernah punya teladan yang luar biasa, yang seharusnya dicontoh oleh pejabat publik dalam mengemban tugasnya, namun ternyata banyak yang lupa, sengaja melupakannya atau pura-pura tidak tahu.

Ketika Jenderal Hoegeng hendak dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi pada masa itu, dia meminta istrinya untuk menutup toko bunga yang dikelolanya. Tentu sang istri keberatan, sebab toko bunga tersebut menjadi sumber penghasilan tambahan bagi mereka. Lalu bertanya "Apa hubungannya toko bunga yang dikelolanya degan jabatan Kepala Jawatan Imigrasi?" 

Sang Jenderal menjawab, "Sebab jika orang-orang tahu bahwa yang memiliki toko bunga adalah istri seorang Kepala Jawatan imigrasi, maka orang-orang yang berurusan dengan imigrasi akan ramai-ramai membeli di toko bunga ibu. Dan ini tidak adil bagi toko bunga lainnya."

Sungguh sebuah sikap yang sangat luar biasa! Sikap Jenderal Hoegeng ini dilakukan untuk menghindari conflict of interest atau benturan kepentingan. Dan ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang menjunjung tinggi nilai etika dan moralitas. Hati nurani menuntunnya, ilmu membuat tahu yang seharusnya dilakukan, serta akal budi dan adabnya beraksi melakukan kebenaran.

Coba bandingkan dengan kondisi sekarang. Adakah pejabat yang demikian? Atau malah sebaliknya berlomba-lomba memanfaatkan jabatan dan kekuasaan untuk kepentingan pribadinya? Melupakan nilai-nilai etika, mengabaikan moralitas, mengesampingkan adab, meninggalkan akhlak. Lalu hendak dibawa kemana negeri ini? 

Saatnya Indonesia memanggil, saatnya anak bangsa kembali mengutamakan nilai etika, moralitas dan adab, jika ingin Indonesia bebas korupsi, gemah ripah loh jinawi, subur makmur sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia. Dimulai dari mana? Jika mengharapkan perubahan pada pejabat publik sangat sulit,  mari mulai dari diri sendiri, dari sekarang, dari hal yang kecil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline