Lihat ke Halaman Asli

Ina Purmini

ibu rumah tangga, bekerja sebagai pns

Warung Kelontong, antara Kebutuhan dan Keindahan

Diperbarui: 26 November 2022   11:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(ilustrasi warung)/dokpri

Hampir di semua sudut kota, kita sering menjumpai pemandangan berupa lapak berbentuk segi empat atau gerobak berukuran relatif kecil sekitar 1 x 2 m atau lebih besar sedikit. Tampak luar berupa barang dagangan yang terdisplay rapi, cukup lengkap untuk memenuhi kebutuhan darurat, mulai dari aneka makanan ringan, minuman sachet, sabun mandi, shampo, obat nyamuk, tissue, kerupuk, hand body lotion, pembalut wanita, mie instan dan banyak lagi lainnya. Pada beberapa lapak juga menyediakan jasa masak mie instan dan menyeduh kopi.

Warung seperti ini biasanya beroperasi 24 jam, sebab rata-rata pemilik warung juga tidur dalam gerobak tersebut. Tak heran jika para pemilik warung biasanya kenal dekat dengan para satpam perumahan (jika lokasi lapak dekat perumahan) sehingga terjalin hubungan mutualisme yang saling menguntungkan, Satpam butuh ngobrol karena harus jaga malam, sementara pemilik warung menyediakan mie dan kopi hitamnya.

Selain sahabat Satpam, warung kelontong semacam ini juga merupakan sahabat bagi orang-orang yang sedang begadang, entah karena harus bekerja malam atau karena tidak bisa tidur dan butuh teman ngobrol sementara anak dan istri di rumah sudah terlelap semuanya. Demikian juga dengan para pelancong yang terkadang harus melakukan perjalanan ke luar kota di malam hari. Bila ngantuk atau membutuhkan barang remeh temeh semacam tisue atau peniti, dapat dengan mudah berhenti dan ngopi sejenak untuk menyegarkan kembali pandangan.

Warung seperti ini menjamur, sebab memang mudah untuk dilakukan, tanpa perlu persyaratan/perijinan formal, asal ada sedikit modal, kemauan dan  ijin informal kepada penghuni sekitar atau RT/RW, warung dapat segera beroperasi. Tentu hal ini menjadi sebuah solusi yang cukup baik di tengah PHK massal di banyak perusahaan besar. 

Namun demikian, warung semacam ini jika sudah terlalu banyak  bertebaran di seluruh sudut kota, bahkan dengan kondisi  lapak yang kurang bersih, ditambah dengan tenda-tenda yang kotor, tidak rapi, kurang ramah pandang (alias tidak sedap dipandang mata) akan menjadi masalah baru terhadap keindahan kota, bahkan dapat menjelma menjadi kawasan kumuh baru.

Tentu harus dicarikan solusi terbaik, bagaimana para pemilik warung tetap bisa beroperasi untuk memperoleh penghasilan tetapi juga tidak mengganggu keindahan, ketertiban kota. Pemerintah Daerah seharusnya turun tangan menata hal ini, bisa dengan memberikan lokasi yang layak di beberapa titik,  membuat aturan standarisasi lapak terkait ukuran, warna, pemasangan asesoris tambahan misalnya tenda, meja, kursi bahkan untuk meningkatkan keindahan kota dapat dibuat disain lapak yang artistik dengan ciri khas daerah masing-masing. Dengan kebijakan daerah yang baik, kreatif, inovatif dan berpihak kepada pelapak, bukan tidak mungkin keberadaan warung kelontong kaki lima bisa menjadi sebuah daya tarik wisata, yang dapat menambah pundi-pundi pendapatan tidak hanya bagi pelapak tetapi juga kepada Pemda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline