Lihat ke Halaman Asli

Digdaya dengan Membaca

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

/i/

Pertempuran laut awal abad XX itu begitu menyakitkan bagi Rusia. Di Selat Tsushima, negara raksasa itu dipecundangi oleh tentara Jepang. Sejarah mencatat, perang yang terjadi antara Rusia melawan Jepang (1904-1905) itu, dimenangi oleh Jepang.

Dari segi peralatan, jelas Rusia memiliki perlengkapan perang yang lebih modern. Dari segi pewacanaan, jelas Rusia lebih diunggulkan oleh dunia. Rusia merupakan salah satu negara adidaya saat itu. Tapi kenapa masih juga kalah?

Ternyata, menurut Geoffrey Jukes dalam The Russo-Japanese War 1904-1905, yang lebih berperan dalam hasil final perang itu bukanlah seberapa hebat penggunaan teknologi, tapi seberapa tinggi tingkat literasi. Tentara Rusia memang lebih unggul dalam hal teknologi. Tapi tentara jepang jauh mengungguli tentara Rusia dalam hal literasi.

Hampir seluruh tentara Jepang bisa membaca dan menulis. Sedangkan tentara Rusia, hanya 20% saja yang bisa membaca dan menulis. Inilah yang menyebabkan tentara Rusia sering salah membaca peta dan tidak mampu mengoperasikan jaringan komunikasi dengan baik. Sebaliknya, tentara Jepang mampu membidik sasaran dengan jitu dan memanfaatkan jaringan komunikasi yang tersedia.

/ii/

Kota Baghdad, sebelum penyerangan pasukan Mongol pada abad ke-13, merupakan kota indah dengan penduduk yang gandrung terhadap ilmu. Di kota itu diyakini pernah berdiri sebanyak 36 buah perpustakaan. Perpustakaan-perpustakaan inilah yang menjadi bukti betapa hebatnya kemampuan literasi masyarakat saat itu.

Sebutlah misalnya perpustakaan Al-Waqidi. Perpustakaan ini memiliki koleksi yang melimpah. Dibutuhkan sekitar 120 ekor unta khusus pengangkut beban untuk mengangkut seluruh koleksi perpustakaan itu. Terdapat juga perpustakaan Muhammad bin Husain yang memiliki koleksi berupa manuskrip-manuskrip langka. Contoh lainnya adalah perpustakaan Ibnu Kamil yang memiliki koleksi buku sekitar 10.000 buku.

Dapat dibayangkan betapa “melek” masyarakat Baghdad terhadap literasi pada saat itu. Di satu kota saja, yaitu di Baghdad, terdapat 36 perpustakaan yang ramai dikunjungi oleh masyarakat. Belum lagi kalau mempertimbangkan bahwa teknologi percetakan belum semaju sekarang, bisa makin ternganga kita pada semangat literasi masyarakat Baghdad pada waktu itu.

Apa hasil dari berdirinya puluhan perpustakaan dan banyaknya diskusi-diskusi ilmu pada saat itu? Negeri Seribu Satu Malam itu menjadi pusat ilmu, pusat peradaban, dan tempat dididiknya pemikir-pemikir kelas dunia. Luar biasa!

/iii/

Sekarang, mari tengok bangsa kita. Di mana tingkat minat baca masyarakat sudah pada tahap yang menggelisahkan. Untuk masyarakat Jawa Barat misalnya, tingkat minat baca masyarakatnya adalah 1:1000. Maksudnya, jika ada 1000 judul buku, diperkirakan yang dibaca oleh masyarakat hanya 1 judul buku. Bandingkan dengan di Singapura, jika ada 1000 judul buku, diperkirakan sekitar 900 judul dibaca oleh masyarakatnya. Apa yang salah dengan bangsa ini? Bagaimana solusinya?

Ada banyak sebab, salah satunya karena minimnya interaksi intensif antara pembaca dan bahan bacaan. Interaksi intensif maksudnya pembaca berhubungan langsung dengan bahan bacaannya, bukan sekadar baca sinopsis. Pembaca membaca untuk mengapresiasi, bukan sekadar menghapal untuk menjawab soal ujian.

Lalu, bagaimana cara meningkatkan interaksi antara pembaca dan bahan bacaan? Ini juga ada banyak cara, salah satunya adalah dengan menyediakan fasilitas baca untuk pembaca. Ada ungkapan, kalau menginginkan masyarakat melakukan sesuatu, maka sediakan fasilitasnya. Misalnya menginginkan masyarakat kota menggunakan sepeda, maka salah satu caranya adalah dengan menyediakan jalur sepeda di perkotaan.

Begitu juga dengan membaca. Agar minat baca masyarakat meningkat, sediakan juga fasilitasnya, salah satunya dengan perpustakaan. Bukankah selama ini perpustakaan sudah ada di kota-kota dan sekolah-sekolah? Betul, tapi terkesan masih ada jarak antara perpustakaan dan masyarakat; baik dalam makna konotatif, maupun denotatif.

Nah, saya kira karena alasan inilah kenapa Perpustakaan Umum Dinteun Minggu (PUDING) harus ada, yaitu untuk memangkas jarak antara perpustakaan dan masyarakat. PUDING yang digawangi anak muda-anak muda dari IT Telkom itu mengadakan kegiatannya saat masyarakat sedang “berekreasi” mengunjungi pasar kaget di bilangan Dayeuhkolot. Melalui kampanye membaca yang cerdas dan kreatif, setiap pekan masyarakat beramai-ramai mengunjungi PUDING.

Sebuah PUDING memang belum bisa meningkatkan minat baca masyarakat secara keseluruhan. Namun, andai setiap kampus memiliki program semisal PUDING ini, tentu efeknya akan lebih besar lagi. Apalagi ditambah dukungan dari pemerintah dan perpustakaan daerah. Dengan daya baca yang besar, semoga masyarakat jadi lebih digdaya.

Dedi Setiawan

Ketua FLP Bandung

Referensi:

Suherman, 2010. Bacalah!. Bandung: MQS Publishing

http://oase.kompas.com/read/2010/11/23/03124698/Literasi.Memenangi.Kehidupan

http://www.pikiran-rakyat.com/node/113967

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Dedi Setiawan, lulusan teknik informatika IT Telkom. Aktif menulis esai, puisi, dan cerpen. Tulisannya pernah dimuat di Majalah Sabili, Majalah Tarbawi, Majalah Suara Asosiasi Dosen Indonesia,Tabloid Jabar Pos, Harian Umum Pikiran Rakyat, Harian Umum Bandung Ekpres, dan Kompas. Karyanya juga terdapat dalam buku antologi Aura Jeihan dan antologi cerpen FLP Bandung. Saat ini bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Bandung sebagai ketua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline