Sexual consent merupakan alat yang dibutuhkan untuk memberikan izin melakukan aktivitas seksual atau tidak melakukan sama sekali (Dixie, 2017). Permendikbudristek mengatur syarat dari sexual consent yang dianggap tidak sah sehingga sexual consent dapat digunakan sebagai penentu apakah perilaku seksual melanggar hukum atau tidak. Pemahaman terhadap kekerasan seksual perlu untuk dipahami agar dapat memahami makna "tanpa persetujuan korban" (Rizkia, 2022) yang menjadi kondisi penyerta bagi perilaku hubungan seksual dapat dikatakan sebagai perilaku kejahatan. Tidak akan ada upaya untuk mengkonfirmasi persetujuan korban tanpa didahului oleh situasi yang memenuhi maksud kekerasan seksual (Amal, 2021).
Pembahasan terkait sexual consent sendiri masih dapat dikatakan tabu di Indonesia. Sebelum pengesahan UU TPKS, muncul polemik terkait memasukan kondisi yang disebut sexual consent. Beberapa pihak menganggap bahwa mencantumkan pembahasan sexual consent dapat melanggar norma budaya dan agama di Indonesia, tidak sesuai dengan pancasila, serta dianggap sebagai menyetujui perbuatan zina. Persetujuan melakukan hubungan seksual dianggap baru dapat dilakukan dalam konteks lembaga pernikahan (Fikri Walaupun persetujuan melakukan hubungan seksual dianggap wajar di dalam pernikahan, jumlah kasus kekerasan seksual kerap terjadi di dalam pernikahan dengan persentase yang tinggi.
Beberapa studi ilmiah mencoba mendefinisikan sexual consent. Muehlenhard dkk, (2016) dalam Willis dkk (2021) menjabarkan sexual consent memiliki tiga aspek, yaitu perasaan, komunikasi, dan persepsi. Sexual consent dapat dikonseptualisasikan sebagai kondisi internal terkait keinginan untuk terlibat dalam perilaku seksual dengan orang lain. Untuk memperoleh indikator yang menentukan keinginan untuk berhubungan seksual, tim peneliti meminta partisipan menuliskan perasaan yang diasosiasikan dengan keinginan untuk berhubungan seksual (Jozkowski, Sanders, dkk, 2014). Dari penelitian tersebut diidentifikasikan lima perasaan yang berkaitan dengan persetujuan internal untuk berhubungan seks, yaitu respon fisik, rasa aman/nyaman, terangsang, persetujuan/kemauan, dan kesiapan.
Agar pasangan suami istri dapat memahami kondisi internal untuk setuju berhubungan seksual maka perlu adanya komunikasi. Keinginan tersebut dapat dikomunikasikan melalui kata-kata dan perilaku, bisa implisit dan eksplisit. Komunikasi seksual menjadi aspek yang penting dalam hubungan pernikahan karena berhubungan dengan kepuasan pernikahan. Kepuasan hubungan seksual dalam suatu perkawinan dapat diperoleh bila diantara suami istri terjalin komunikasi yang terbuka dan mendalam mengenai kebutuhan seksualnya (Sulistyo, 1977). Komunikasi terbuka disini dapat terbentuk secara aktif melakukan atau membicarakan sesuatu yang mengindikasikan keinginannya untuk melakukan hubungan seksual, bisa secara langsung/terang-terangan atau secara tersirat. Walaupun secara ideal komunikasi dilakukan secara langsung namun bahasa non-verbal atau bahasa tubuh merupakan bentuk komunikasi yang dominan dilakukan pasangan suami istri.
Sexual consent merupakan proses yang kompleks dan berbeda untuk setiap individu. Komponen dari sexual consent yaitu keinginan, komunikasi dan persepsi, dapat dimaknakan dan diekspresikan berbeda-beda. Individu dapat merasakan keinginan untuk berhubungan seksual serta mengkomunikasikannya dalam bentuk tertentu dan pasangannya mencoba menangkap keinginan tersebut dengan memaknai ketiga aspek dari sexual consent. Proses ini berlangsung dua arah. Oleh karena itu, sexual consent mencerminkan proses interpersonal yg berulang dan bersiklus (Humphreys, 2004; Willis & Jozkowski, 2021; Muehlenhard dkk., 2016; Willis dkk, 2021).
Terlepas dari dorongan untuk mengkomunikasikan sexual consent dengan lebih terbuka antar pasangan suami istri, penelitian menunjukkan bahwa pasangan lebih banyak mengandalkan petunjuk non-verbal. Dasar menentukan adanya persetujuan ini juga menjadi otomatis seiring dengan lamanya usia pernikahan. Petunjuk non-verbal dapat secara efektif ditangkap dan direspon namun akan menjadi ambigu jika dihadapkan pada 'tidak ada respon' atau diam saja yang juga dianggap sebagai bentuk persetujuan untuk berhubungan seksual. Bentuk respon yang ambigu ini juga dipengaruhi oleh belum adanya definisi terkait sexual consent yang disepakati dalam hukum di Indonesia. Seseorang dapat mengklaim bahwa hubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka, dimana pernyataan ini beberapa kali disebutkan sebagai bentuk pembelaan dalam kasus kekerasan seksual dalam hubungan intim.
Kekerasan seksual dalam pernikahan atau marital rape menjadi kasus yang sulit untuk diproses karena ambiguitas dari sexual consent yang jadi penentu antara hubungan seksual dilakukan atas persetujuan atau pemaksaan. Ambiguitas dari sexual consent dalam pernikahan terjadi karena adanya kepercayaan bahwa sexual consent ditentukan dari konteks hubungan. Bahwa dalam hubungan pernikahan, persetujuan untuk melakukan hubungan seksual menjadi mutlak dan semakin kuat dan lama hubungan maka semakin kuat asumsi tersebut sampai menggantikan komponen dari sexual consent itu sendiri. Kondisi ini menjadi berbahaya jika disertai dengan masih diterapkannya budaya patriarki, paksaan sosial terkait peran gender, serta adanya ketimpangan kuasa antar suami dan istri. Dalam kasus marital rape, sexual consent bukan lagi menjadi alat untuk memberikan izin melakukan aktivitas seksual melainkan berubah menjadi sarana untuk menyalurkan agresivitas dan mengkomunikasikan kuasa terhadap pasangan.
Diharapkan dengan mengetahui dinamika sexual consent dalam pernikahan dan bagaimana potensi terjadinya kekerasan dalam pernikahan jika sexual consent tidak diterapkan maka diharapkan dapat dibentuk upaya pencegahan dengan menerapkan pemahaman pentingnya sexual consent sebelum dan selama pernikahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H