Lihat ke Halaman Asli

Immanuel Yosua Tjiptosoewarno

Pengajar, Konsultan, Aktivis Sosial Kemasyarakatan

Pahlawan dan Lobby di Hari Pahlawan

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Soerabaia .... Bung Tomo ... Arek Arek Suroboyo .... itulah beberapa kata kunci yang akan terngiang di telinga, ketika hari Pahlawan yang  jatuh pada tanggal 10 November diperingati tiap tahunnya, tak terkecuali di tahun 2013. Tak ubahnya tahun sebelumnya, berbagai kegiatanpun di helat. Mulai ziarah ke Taman Makam Pahlawan, upacara peringatan yang digelar di Grahadi Gubernuran dan hingga Gerak Jalan Mojokerto - Surabaya di helat.

Merujuk pada essensi dan substansi peristiwa yang diperingati, tentu dalam benak kita akan tergambar perjuangan para pahlawan yang telah gugur mendahului kita. Tewasnya Jenderal Mallaby dan juga beberapa tentara sekutu tentu tak gratis. Tentu banyak tubuh yang terhempas ke tanah dan meregang nyawa demi sebuah kata "Merdeka!"

Kini apa yang mereka nikmati? tentu mereka, para pahlawan kita tak dapat menikmatinya ... mereka telah menyatu dengan tanah air yang mereka bela hingga titik darah penghabisan. Paling-paling saat ini jasad mereka bersatu dengan tanah pekuburan yang berlabel "Taman Makam Pahlawan" Itupun dengan catatan, secara adminstratif mereka terdeteksi oleh pihak berwenang sebagai "Pahlawan" yang tentu saja membutuhkan bukti administratif.

Bagi yang saat ini masih berkesempatan menikmati hasil perjuangan mereka, tak semuanya beruntung. Tak jarang diantara mereka harus hidup dalam kekurang dan kesakitan hingga akhir hayat mereka. Belum lagi keluarga mereka. Anak cucu mereka tak semuanya beruntung. Banyak diantara mereka yang harus berjuang untuk menyambung hidup dari hari ke hari. Kalaupun beruntung dan berhasil, lebih banyak bukan karena "warisan" dari pengorbanan orang tua mereka.

Hari Pahlawan bagi mereka seakan tiada arti dan tak perlu diingat. Sebab hari ini, tak banyak dari mereka yang merasakan hasil perjuangan mereka. Kalau ditelisik, mereka, para pejuang dan anak cucu mereka hanya menjadi "orang pinggiran" diperingatan Hari Pahlawan, jauh dari podium dan jajaran kursi terhormat di Grahadi Gubernuran maupun ruang VIP dan tempat pemberangkatan Gerak Jalan Mojokerto - Surabaya.

Lalu siapa yang berada disana? di jajaran "yang terhormat" Grahadi Gubernuran dan Ruang VIP pemberangkatan maupun finish Gerak Jalan Mojokerto - Surabaya? Memang ada beberapa orang yang beruntung diantara para anak cucu pejuang seangkatan Bung Tomo. Tapi tak banyak, separuh ruanganpun tak ada disana.

Lalu siapakah mereka? Tentu beragam, ada politikus, pengusaha, pejabat publik, tokoh politik, tokoh pemuda dan puluhan orang yang mengaku wakil masyarakat dari berbagai lembaga. Ada ormas, partai politik, organisasi kepemudaan, organisasi keagamaan dan masih banyak lagi.

Lalu apa yang mereka lakukan? Tentu beragam, tergantung acara dan tempatnya. Ketika upacara berlangsung, tentu mereka mengikuti dengan khidmat. Paska itu, "para tokoh" ini akan masuk ruang gubernuran dan ketawa ketiwi, cipika cipiki tanda kedekatan satu sama lain. Tak hanya itu, merekapun menikmati hidangan yang dibiayai oleh APBD dan hasil dari tetesan darah bercampur keringat para pahlawan.

Lain lagi di Mojokerto, tempat pemberangkatan gerak jalan Mojokerto-Surabaya. Di ruang tunggu VIP mereka menikmati hidangan nan lezat  ala restoran dengan meja bundar. Tak lupa penyanyi cantikpun melantunkan suara merdu menghibur para undangan yang terhormat sembari menunggu Pakde Karwo dan Gus Ipul beserta pejabat teras lainnya datang untuk menyalami mereka.

Apakah cukup bersalaman sambil menunduk dan sebagian cipika cipiki? Tentu tidak, tentu ada "hidden agenda" yang menyertai. "Lobby" Itulah kata yang tepat untuk mewakili peristiwa ini. Mulai sekedar setor muka hingga menggolkan kepentingan tertentu yang berbau politik, ekonomi ataupun lainnya menjadi bagian dari agenda yang ingin dibicarakan.

Apakah itu salah? Tentu tidak, dalam politik dan praktik birokrasi itu sah-sah saja? Namun yang menjadi pertanyaannya adalah, darimana biaya yang dikeluarkan untuk semua itu? uang pribadi? menurut hematku kok bukan. Tentu APBD. Ini sangat berbeda jauh dengan ribuan masyarakat yang berdiri di sepanjang rute yang dilalui. Dengan ikhlas mereka membagikan segelas air mineral dan seplastik es teh kepada para peserta, sembari memberi semangat kepada peserta. Ini murni dari kantong mereka sendiri. Ironis memang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline