Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Menggantung Kebebasan di Halaman Belakang Rumah

Diperbarui: 29 Oktober 2022   21:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. (Foto: Dokumentasi pribadi)

Aku berjalan menelusuri lorong kampus menuju taman belajar dekat Fakultas Ilmu Budaya. Euforia kelulusan tidak mampu menenggelamkan ingatanku tentang Ani. Sorak sorai gembira serta tangis haru para wisudawan tak mampu menahan air mataku tak tumpah ruah. Kata-kata Ani sore itu, sedikit banyaknya mengubah pikiranku yang sempit kala itu.

Perempuan dengan segala stigma, dilema, bahkan ketidakbebasannya. Di negeri yang sudah merdeka, ternyata masih ada mereka yang belum merdeka di tanah sendiri. Masih banyak dari mereka yang tidak mendapatkan hak-nya. Sebagaian dari mereka dibungkam pendapatnya, ada pula yang tak bisa memilih pilihannya, seperti Ani.

Aku berhenti berjalan sejenak, menatap bendera merah putih berkibar dengan indahnya. Selama 4 tahun kuliah, aku tidak hanya mendapatkan ilmu, tetapi juga pengalaman berharga. Ani benar, tujuan manusia mengeyam pendidikan tidak hanya untuk selembar ijazah, lebih dari itu. Manusia punya impian besar.

Manusia adalah makhluk sosial, mereka berinteraksi, bertukar pikiran, saling berdebat, serta membentuk koloni. Isi kepala mereka tidak akan sama. Namun, hal itu yang menjadikan manusia unik. Mereka punya warna berbeda, pola pikir tak sama, serta perspektif dari sudut pandang berbeda.

Aku terdiam, mengenang Ani yang sudah merdeka dengan caranya. Cara yang begitu menyayat hatiku dan keluarga besar.

Semoga, perempuan di seluruh dunia, memiliki kebebasan. Namun dengan cara yang lain, bukan dengan cara yang Ani lakukan.

**

Siang itu, rumah terlihat sangat sibuk. Aku memasukan beberapa pasang pakaian ke dalam koper, ibu sedang mengecek paket oleh-oleh khas Cirebon yang ia beli di aplikasi pesan antar, sedangkan ayah sedang memanaskan mesin mobil. Hari ini kami akan pergi ke kampung halaman ayah di Indramayu. Besok, anak dari adik ayah---yang berarti sepupuku---akan melangsungkan pernikahan. Karena masih keluarga dekat, ayah dan ibu wajib ngobeng ke sana.

Ngobeng artinya ketika saudara, keluarga, serta tetangga akan melaksanakan acara atau kegiatan besar, seperti pernikahan ataupun hajatan. Para keluarga dan tetangga biasanya datang untuk membantu. Para ibu-ibu sibuk memasak di dapur sementara para bapak-bapak mengerjakan sesuatu yang berat, misalnya memasang tenda atau panggung acara.

Adik ayah bernama Pakdhe Slamet. Pakdhe Slamet tinggal di rumah pusaka peninggalan Eyang Kakung. Di sini, Pakdhe tinggal bersama istrinya Eli, dan juga anak pertamanya, Ani, serta anak bungsunya, Bambang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline