Matahari perlahan memanjat langit, menyiram hamparan ladang gandum PT. Sangat Waras dengan rona emas yang gemilang. Di tepi lahan itu, sebuah gubuk kecil berdiri kaku, menjadi saksi bisu dari kebimbangan yang bersarang di hati seorang lelaki.
Wadi duduk bersandar pada tiang kayu yang mulai keropos, menggenggam ponselnya seolah benda itu mampu menjawab segala kegelisahan.
Dalam layar mungil itu, sebuah Surat Keputusan (SK) baru saja diunggah di grup WhatsApp buruh.
Mata Wadi menelusuri daftar nama yang tercantum, matanya berharap menemukan jejak namanya di antara barisan huruf itu. Degup jantungnya bagai palu yang terus memukul.
Namun, harapan itu layu. Namanya lenyap dari lembaran nasib. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya, tidak ada suara telepon yang memanggil.
Hanya deretan nama yang terasa asing, menggantikan harapannya. Dadanya terasa sesak, seperti ada beban yang mengimpit tanpa ampun.
“Kok namaku gak ada, ya?” gumamnya, suaranya serak diterbangkan angin pagi yang dingin. Ia mencoba menghibur diri, meyakinkan bahwa ini mungkin hanya sebuah kekeliruan kecil, sekelebat salah yang akan segera lurus.
Tapi rasa itu runtuh seiring jawaban tegas dari mandor dan rekan-rekannya, kontraknya tak diperpanjang.
-----
Setahun silam, keberanian Wadi pernah melawan arus. Ia adalah buruh yang dikenal tenang, namun hari itu, keadilan memaksa dirinya bersuara. Gaji yang terlambat berminggu-minggu telah memuncak menjadi kemarahan kolektif, dan Wadi berdiri di hadapan Pak Butos, manajer lahan yang keras dan tak sabaran.