Ketika menyebut Lombok, bayangan yang muncul di benak kebanyakan orang mungkin adalah keindahan pantainya, keramahan budaya Sasak, dan berbagai ikon lokal yang khas. Di antara ikon tersebut, cidomo berdiri sebagai simbol tak tergantikan yang mencerminkan harmoni antara tradisi dan kebutuhan modernisasi.
Sebagai alat transportasi tradisional yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Lombok selama puluhan tahun, cidomo tidak sekadar menawarkan fungsi utilitarian tetapi juga menyimpan cerita sejarah, budaya, dan daya tarik pariwisata yang kuat.
Cidomo, sebuah akronim dari cikar, dokar, dan montor (mobil), adalah kendaraan tradisional yang unik. Kendaraan ini menggunakan tenaga kuda sebagai penggerak utamanya, dengan roda bekas mobil dan atap yang sering terbuat dari bahan alami seperti serat kelapa atau jerami.
Elemen tradisional ini diperkaya dengan hiasan berupa jumbai-jumbai berwarna cerah dan lonceng kecil yang menciptakan kesan estetis sekaligus nostalgia. Dalam konteks masyarakat Sasak, cidomo bukan sekadar alat transportasi, tetapi bagian integral dari identitas budaya mereka.
Sejak dahulu, cidomo memainkan peran vital dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Lombok. Kendaraan ini digunakan untuk mengangkut hasil panen, barang dagangan, hingga penumpang. Terutama di desa-desa yang infrastrukturnya belum memadai, cidomo menjadi solusi transportasi sederhana yang ekonomis dan ramah lingkungan.
Di masa lalu, jalanan sempit yang belum beraspal dan sulit dilalui kendaraan bermotor sering kali menjadi tantangan. Di sinilah cidomo menunjukkan keunggulannya, menjangkau wilayah yang sulit diakses dan menghubungkan komunitas-komunitas yang terisolasi.
Namun, modernisasi tidak datang tanpa tantangan. Kehadiran kendaraan bermotor yang lebih cepat dan efisien mulai menggusur peran cidomo, terutama di kawasan perkotaan. Di Mataram, misalnya, cidomo sering dipandang sebagai penghambat lalu lintas.
Kecepatan yang rendah dan kotoran kuda yang mengotori jalan menjadi alasan mengapa cidomo mulai dipandang sebagai sesuatu yang tidak relevan dengan dinamika kota modern. Upaya untuk mengatasi masalah ini, seperti penggunaan kantong kotoran kuda, memang telah dilakukan, tetapi hasilnya belum sepenuhnya efektif.
Meski demikian, keberadaan cidomo belum sepenuhnya tergeser. Di pasar-pasar tradisional dan kawasan wisata, cidomo tetap mempertahankan perannya. Pasar-pasar desa masih bergantung pada cidomo untuk mengangkut hasil bumi dan barang dagangan.
Di Kepulauan Gili, cidomo bahkan menjadi transportasi utama karena adanya larangan kendaraan bermotor. Pengalaman wisatawan yang datang ke Gili Trawangan, Gili Meno, atau Gili Air hampir selalu melibatkan cidomo, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari daya tarik wisata lokal.