Kekuasaan selalu menjadi topik menarik untuk dikaji, terutama karena sifatnya yang kompleks dan dinamis. Di tangan yang tepat, kekuasaan bisa menjadi alat untuk menciptakan kebaikan dan harmoni. Namun, kekuasaan juga kerap menjadi senjata berbahaya ketika digunakan untuk tujuan semena-mena, terutama oleh mereka yang belum matang secara emosional dan moral.
Dalam kehidupan bermasyarakat, penyalahgunaan kekuasaan tidak hanya merugikan individu tertentu tetapi juga menciptakan keretakan sosial.
Salah satu kasus yang sering terjadi adalah tindakan pemutusan kerja tanpa alasan yang jelas, atau bahkan dengan alasan yang sengaja direkayasa. Fenomena ini, dalam pandangan sosiologi, mencerminkan ketidakseimbangan relasi kuasa antara atasan dan bawahan.
Misalnya, selama tahun 2024, sebanyak 8.394 karyawan di Jawa Timur (Jatim) harus kehilangan pekerjaan akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Data ini mencakup 21 daerah dari total 38 kabupaten/kota di provinsi tersebut (Jatim.viva.co.id, 19/01/2025).
Dalam beberapa kasus, mereka yang memiliki kekuasaan sering kali menggunakan pemutusan kerja sebagai cara memuaskan ego atau dendam pribadi, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain.
Dalam konteks Islam, perilaku semena-mena ini sangat dikecam. Konsep Hukum Dzarrah, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an Surah Az-Zalzalah ayat 7-8, menegaskan bahwa setiap perbuatan manusia, baik atau buruk, sekecil apa pun, akan mendapatkan balasan.
Hal ini memperlihatkan bahwa kezaliman tidak akan pernah dibiarkan tanpa ganjaran. Rasulullah SAW juga mengingatkan bahwa kezaliman adalah kegelapan di hari kiamat (HR Muslim).
Jika ditinjau dari perspektif sosiologi, tindakan semena-mena dalam kekuasaan berkaitan erat dengan teori stratifikasi sosial. Dalam struktur organisasi atau masyarakat, mereka yang berada di puncak hierarki sering kali memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya, informasi, dan pengaruh.
Kekuasaan ini, apabila tidak dikontrol oleh norma sosial atau nilai agama, dapat mendorong individu untuk bertindak sewenang-wenang. Hal ini sesuai dengan pendapat Max Weber, yang menyebutkan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya, meskipun menghadapi perlawanan.
Perilaku semena-mena ini bukan hanya masalah individu. Ia adalah cerminan dari budaya organisasi atau sistem sosial yang lemah dalam menerapkan prinsip keadilan. Dalam banyak kasus, institusi yang seharusnya menjadi penegak keadilan justru terjebak dalam praktik nepotisme dan suka-tidak suka