Lihat ke Halaman Asli

Beryn Imtihan

TERVERIFIKASI

Penikmat Kopi

Jeda di Lampu Merah

Diperbarui: 16 Januari 2025   06:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jeda di lampu merah (sumber: kompas.com)

Sepulang dari kegiatan pendampingan di sebuah desa, saya memilih melewati jalur kota. Malam itu, udara terasa hangat meski bercampur debu dari lalu lintas yang padat. Jalanan penuh kendaraan, menciptakan suasana ramai yang khas di tengah hiruk-pikuk kota.

Di salah satu perempatan besar, kendaraan mulai melambat, kemudian berhenti. Lampu merah menyala terang, membuat antrean panjang. Perhatian saya tertuju pada penghitung waktu digital di atas lampu lalu lintas. Angka itu perlahan menurun, memberi tahu berapa lama lagi lampu hijau akan menyala.

Seperti kebanyakan orang, saya hanya ingin lampu hijau segera muncul. Ketergesaan untuk segera melaju membuat angka-angka pada lampu merah terasa lambat. Tapi malam itu, alih-alih hanya berharap waktu bergerak cepat, pikiran saya melayang. Ada sesuatu yang sangat simbolis dalam lampu merah dan penghitung waktunya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti pengingat akan waktu yang tak mungkin kembali.

Cak Lontong pernah melontarkan lelucon sederhana namun penuh makna tentang lampu merah. Katanya, “Saat lampu hijau menyala, kita justru pergi. Padahal, bukankah kita sedang menunggu lampu hijau?” Dalam kelakar itu, ada kritik halus tentang bagaimana manusia sering hanya terfokus pada apa yang ada di depan mata, melupakan apa yang sedang terjadi saat ini. Kehidupan terasa seperti itu: selalu ada yang ditunggu, selalu ada yang belum selesai.

Dalam jeda lampu merah itu, saya teringat tulisan Milan Kundera dalam Slowness. Ia mengatakan, “Kecepatan adalah bentuk ekstasi yang dihasilkan oleh revolusi teknologi.” Kita hidup dalam dunia yang memuja percepatan, di mana menunggu dianggap membuang waktu. Tapi apakah waktu yang digunakan untuk menunggu benar-benar hilang? Atau mungkin kita hanya belum belajar untuk memanfaatkannya dengan bijak?

Menunggu di lampu merah adalah jeda. Jeda yang sering kita anggap sebagai gangguan, padahal bisa menjadi momen refleksi. Ketika kendaraan berhenti, dunia seperti memberi ruang untuk bernapas sejenak. Apa yang sering kita anggap remeh justru menawarkan pelajaran penting tentang hidup.

Dalam buku The Gift of Time, Fitzgerald mengingatkan bahwa momen jeda adalah saat ketika manusia bisa kembali menghubungkan dirinya dengan makna yang lebih besar. Sayangnya, kita terlalu sering teralihkan oleh hiruk-pikuk, oleh layar ponsel, oleh pikiran yang melompat ke hal-hal berikutnya.

Malam itu, lampu merah di perempatan kota tidak hanya menghentikan kendaraan, tetapi juga menghentikan waktu sejenak bagi saya. Setiap detik di penghitung waktu terasa seperti lonceng kecil yang mengingatkan bahwa hidup tidak berjalan mundur. Tidak ada yang bisa kembali ke detik sebelumnya. Detik-detik itu perlahan habis, seperti usia yang terus berkurang.

Sayangnya, kesadaran ini sering kali hanya muncul sesaat. Setelah lampu hijau menyala, kendaraan kembali melaju dengan kecepatan yang memabukkan. Tidak ada waktu untuk merenung. Keinginan untuk sampai di tujuan menghapus makna dari perjalanan itu sendiri. Dalam konteks ini, lampu merah seolah menjadi simbol bagaimana manusia sering kali mengabaikan momen kecil dalam hidup.

Tentu, tidak ada salahnya memiliki ambisi atau tujuan. Tetapi jika seluruh hidup hanya difokuskan pada tujuan, apakah kita benar-benar hidup? Victor Frankl dalam bukunya Man’s Search for Meaning menulis, “Kebahagiaan tidak bisa dikejar; ia harus muncul sebagai hasil dari pengabdian pada sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri.” Begitu pula dengan perjalanan hidup. Tujuan itu penting, tetapi jalan menuju ke sana lebih dari sekadar perantara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline