Lihat ke Halaman Asli

Beryn Imtihan

Penikmat Kopi

Membaca Tren Kebijakan Dana Desa Tahun 2025

Diperbarui: 17 Desember 2024   09:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Riset Kompas: Dana desa terbukti memberi manfaat pada pengurangan angka kemiskinan di desa (sumber: https://www.kompas.id/baca/riset)

Setiap pergantian tahun, kebijakan Dana Desa selalu menjadi sorotan. Bukan hanya besaran anggaran yang kian membengkak, melainkan juga dinamika peruntukan dan implementasinya. Tahun 2025 nanti, Dana Desa akan dialokasikan sebesar Rp71 triliun, angka yang menegaskan pentingnya desa sebagai tulang punggung pembangunan nasional.

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menyebut arah kebijakan ini sebagai upaya percepatan pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas desa, hingga adaptasi terhadap tantangan perubahan iklim (Kurnia, 2024).

Tren kebijakan Dana Desa 2025 patut dicermati. Dengan pendistribusian lebih sederhana dari tiga tahap menjadi dua, kecepatan penyaluran diharapkan lebih efektif. Pemerintah menitikberatkan alokasi berbasis kinerja dan kebutuhan afirmasi. Desa-desa mandiri mendapatkan insentif lebih besar sebagai bentuk penghargaan atas capaian kemandirian mereka. Sementara itu, desa tertinggal dan sangat tertinggal mendapat prioritas afirmasi untuk mendorong percepatan pembangunan (Kurnia, 2024).

Dalam penyederhanaan ini, tantangan justru muncul pada realisasi penggunaan dana. Tahun 2024, masih ada 1.932 desa yang belum menyalurkan tahap kedua Dana Desa mereka. Angka ini menimbulkan kekhawatiran soal kemampuan desa dalam menyerap anggaran. Lebih lanjut, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa yang menjadi salah satu penanganan kemiskinan ekstrem masih menghadapi masalah akurasi data penerima. Keberhasilan program ini bergantung pada kesiapan pemerintah desa dalam memutakhirkan data serta memastikan dana sampai ke keluarga yang benar-benar membutuhkan.

Di tengah dinamika ini, peran pendamping desa menjadi sangat strategis. Pendamping desa berfungsi sebagai katalisator pembangunan sekaligus fasilitator dalam implementasi program Dana Desa. Mereka membantu desa dalam menyusun perencanaan, memastikan transparansi penggunaan dana, serta memberikan pendampingan teknis dan administratif. Sebagai ujung tombak yang berinteraksi langsung dengan pemerintah desa dan masyarakat, pendamping desa juga menjadi jembatan antara kebijakan pemerintah pusat dan realisasi di lapangan (Dethan, dkk. 2020).

Tidak jarang, tantangan yang dihadapi pendamping desa cukup kompleks. Mulai dari rendahnya kapasitas aparatur desa dalam pengelolaan dana hingga resistensi masyarakat terhadap perubahan program. Namun, kehadiran pendamping desa memberikan dampak positif dalam mendorong perbaikan tata kelola pemerintahan desa. Misalnya, dalam memfasilitasi penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) hingga membantu penguatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) agar mampu menggerakkan ekonomi lokal. Peran ini menjadi krusial, terutama di desa-desa yang masih tertinggal dan sangat tertinggal.

Porsi alokasi earmarked, seperti BLT Desa, penanganan stunting, dan ketahanan pangan, mendominasi arah kebijakan tahun depan. BLT Desa dipatok maksimal 15 persen dari total Dana Desa, sebuah upaya untuk menjaga keseimbangan antara bantuan langsung dan pembangunan produktif. Di sisi lain, percepatan penurunan stunting menjadi perhatian serius. Pemerintah pusat bahkan mewajibkan desa mengalokasikan anggaran untuk layanan kesehatan dasar dan gizi anak. Sebagaimana kita ketahui, penanganan stunting di Indonesia membutuhkan sinergi berbagai pihak, mulai dari pemerintah desa, pusat kesehatan, hingga keluarga penerima manfaat.

Tren lainnya adalah dorongan terhadap desa digital dan ekonomi hijau. Desa didorong mengembangkan potensi lokal berbasis teknologi. Hal ini tercermin dari indikator tambahan dalam alokasi kinerja, seperti keberadaan website desa, program pengelolaan sampah aktif, dan keterwakilan perempuan di perangkat desa (Kurnia, 2024). Penguatan ekosistem digital menjadi krusial untuk memastikan transparansi, efektivitas program, dan pertumbuhan ekonomi desa. Sayangnya, realitas lapangan menunjukkan kesenjangan infrastruktur digital masih menjadi penghambat serius.

Desa sebagai entitas pembangunan memiliki potensi luar biasa. Namun, dalam pengelolaan Dana Desa, akuntabilitas masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas. Pemerintah berkomitmen menerapkan sanksi bagi desa yang menyalahgunakan dana, seperti penghentian sementara penyaluran atau pengurangan alokasi tahun berikutnya. Pendekatan ini patut diapresiasi, meski pengawasan tetap harus diperkuat dari tingkat pusat hingga daerah. Transparansi realisasi dana melalui dashboard DJPK menjadi langkah penting untuk memantau sejauh mana desa mampu memaksimalkan anggaran yang diterima.

Kebijakan Dana Desa tahun 2025 juga mengangkat isu ketahanan pangan. Alokasi dana untuk program ketahanan pangan dan hewani tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan dasar, melainkan menjadi pijakan awal pengembangan ekonomi berbasis sumber daya lokal. Pertanian, peternakan, dan perikanan memiliki peluang besar jika dikelola dengan baik. Program ini bisa menjadi katalisator ekonomi desa sekaligus menekan angka kemiskinan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline