Mengenal Ahmad Fauzan Nasution adalah salah satu pengalaman berharga yang mengisi perjalanan hidup saya. Sosok tinggi besar dengan tampang yang sedikit sangar bagi mereka yang baru pertama kali bertemu, Fauzan adalah pribadi yang mudah diingat. Ditambah dengan logat Medan yang khas, ia sering kali memberikan kesan awal sebagai sosok yang tegas bahkan keras. Namun, seperti ungkapan “don't judge a book by its cover,” Fauzan adalah contoh nyata antitesis antara penampilan luar dan isi hatinya. Di balik perawakannya yang mungkin terlihat intimidatif, ia memiliki hati yang lembut, perasaan yang peka, dan empati yang besar terhadap orang-orang di sekitarnya.
Pertemuan pertama kami terjadi di Fakultas Syari'ah, Institut PTIQ Jakarta. Seiring waktu, hubungan kami semakin dekat, terutama ketika ia mempercayakan saya untuk menjadi sekretaris Komisariat HMI-MPO PTIQ Jakarta. Keputusan ini, hingga sekarang, masih menjadi tanda tanya besar bagi saya. Mengingat banyaknya kandidat yang jauh lebih berpengalaman dan berkelas pada waktu itu—seperti Syahrul Efendi Dasopang, yang kemudian menjadi Ketua PB HMI periode 2007-2009—pilihan Fauzan kepada saya tampak tidak lazim. Mungkin ada hal yang ia lihat dalam diri saya yang bahkan saya sendiri tidak menyadarinya.
Fauzan adalah sosok pemimpin yang perhatian dan penuh inisiatif. Di masa kami menjadi pengurus Komisariat, banyak hal yang meninggalkan kesan mendalam. Diskusi hingga larut malam, bahkan hampir subuh, sudah menjadi rutinitas kami. Kegiatan organisasi yang sering kali dilakukan tanpa modal yang cukup justru menjadi ladang kreativitas untuk mencari solusi. Di setiap tantangan, Fauzan selalu hadir sebagai pribadi yang solutif, mengarahkan kami dengan cara yang sederhana namun efektif.
Kebersamaan kami tidak hanya dalam lingkup organisasi, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Saya, Fauzan, Doel, Mbad, dan Ena menjadi sebuah kelompok kecil yang selalu bersama. Setiap kegiatan, baik formal maupun santai, selalu melibatkan kami berlima. Kebersamaan ini menciptakan ikatan persahabatan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Namun, seperti semua hal dalam hidup, fase ini tidak berlangsung selamanya.
Setelah masa jabatan di komisariat berakhir, kami memilih jalan masing-masing. Saya melanjutkan ke pengurus cabang, sementara Fauzan memilih melanjutkan studinya di LIPIA, sebuah keputusan yang ia ambil demi memenuhi harapan besar keluarganya. Di sini, saya mulai merasakan jarak antara kami. Fauzan yang dulu fleksibel dan mudah diajak berbincang menjadi terlihat lebih kaku. Saya menduga perubahan ini terjadi karena pengaruh lingkungan baru yang ia masuki. Fauzan tampak lebih serius dalam mengadopsi pandangan kelompok “ikhwan.”
Meski hubungan kami sedikit merenggang, kesetiakawanan Fauzan tetap utuh. Kami masih sering berdiskusi, meskipun suasana diskusi sering kali panas dan menyerupai “pertengkaran.” Ia dengan pandangannya yang semakin konservatif, dan saya dengan gaya berpikir yang mungkin dianggap lebih terbuka. Dalam lingkaran teman-teman kami, ada yang bercanda bahwa saya adalah seorang liberal. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Fauzan tetap melihat saya sebagai sahabat, dan perbedaan pandangan itu justru memperkaya hubungan kami.
Ada satu momen yang tidak akan pernah saya lupakan: ketika saya melihat Fauzan untuk pertama kalinya merokok. Itu terjadi di tengah masa-masa sulit, ketika ia tampak begitu tertekan. Saya tidak tahu pasti apakah ia mencoba menemukan ketenangan melalui rokok atau hanya sekadar mencari pelarian dari tekanan. Namun, satu hal yang saya syukuri adalah kebiasaan itu tidak berlanjut. Ia tetap menjadi Fauzan yang kuat dan konsisten dengan prinsip hidupnya.
Sebagai anak kader besutan Khittah Perjuangan (HMI-MPO), bukan NDP (HMI-DIPO), Fauzan membawa nilai-nilai perjuangan yang kuat dalam setiap langkahnya. Nilai-nilai inilah yang saya yakini menjadi bekalnya saat ia terjun ke dunia politik, hingga akhirnya terpilih sebagai wakil bupati Padang Lawas, Sumatera Utara. Baginya, politik bukan sekadar arena kekuasaan, tetapi juga sebuah ladang pengabdian untuk membawa perubahan nyata bagi masyarakat.
Keberhasilan Fauzan di Pilkada bukanlah sebuah kebetulan. Ia telah menempa dirinya dengan pengalaman yang berharga sejak masa kuliah. Kepemimpinannya di HMI-MPO Komisariat PTIQ Jakarta menjadi cerminan dari kemampuan memimpin dan membangun solidaritas. Ia adalah pemimpin yang tidak hanya memikirkan visi besar, tetapi juga peduli pada detail-detail kecil yang sering kali diabaikan oleh orang lain. Karakter ini menjadikannya figur yang dipercaya oleh banyak orang, termasuk oleh saya sendiri.
Namun, perjalanan ini bukan tanpa tantangan. Sebagai wakil bupati, Fauzan menghadapi berbagai persoalan kompleks di daerahnya. Padang Lawas adalah wilayah dengan dinamika sosial dan ekonomi yang menuntut perhatian serius. Di sini, saya melihat bagaimana nilai-nilai yang ia bawa sejak masa muda—kepedulian, ketegasan, dan kemampuan untuk mencari solusi—menjadi modal yang sangat berharga.