Lihat ke Halaman Asli

Beryn Imtihan

Penikmat Kopi

Gaji Tak Cukup, Tekad Kuat, PLD Agus Selesaikan Doktoral!

Diperbarui: 23 Oktober 2024   19:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lalu Agus Murzaki saat sebagai penyaji dalam Desiminasi Hasil Penelitian Disertasi (sumber: dokpri)

Raungan sepeda motor tua itu menggelegar memecah pagi di Desa Ranggagata, Lombok Tengah. Agus, seorang Pendamping Lokal Desa (PLD), menggenggam erat setang motor Supra X tahun 2005 miliknya. Kendaraan yang telah menemaninya selama bertahun-tahun dalam mengawal Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD), menjadi saksi bisu perjalanan panjangnya — tidak hanya dalam mengawal program, tapi juga dalam mengejar mimpi besarnya: menyelesaikan gelar doktor di UIN Mataram.

Hari-hari bagi Agus tak pernah sederhana. Gajinya sebagai PLD—yang ia peroleh dari tugas-tugas di lapangan, mulai dari mendampingi musyawarah desa hingga menyusun laporan administrasi yang ruwet—jauh dari cukup. Namun, itu tak menghentikan tekadnya menambah ilmu dan wawasan. Sebagai seorang pendamping, ia sadar bahwa perspektif dan pemahaman yang lebih luas akan memberinya alat untuk lebih berdaya dalam mengawal pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.

Gaji Tak Cukup, Tekad yang Tak Kunjung Padam

Dengan gaji yang tidak seberapa, menyelesaikan studi doktoral di tengah kesibukannya sebagai PLD menjadi tantangan besar. Di awal masa perkuliahan, Agus sempat berharap pada beasiswa stimulan dari pemerintah provinsi yang konon dijanjikan akan mendukung selama masa studinya. Namun harapannya hancur ketika beasiswa itu hanya diberikan untuk satu semester saja. SPP yang menumpuk menjadi masalah besar, belum lagi kebutuhan hidup sehari-hari yang harus dipenuhi.

“Setelah semester pertama, saya benar-benar kebingungan. Kalau saya berhenti, apa yang saya dapatkan dari kerja keras ini? Saya sudah setengah jalan, tapi kalau teruskan, saya tidak tahu dari mana uangnya,” cerita Agus dengan mata yang berkaca-kaca mengingat masa sulit itu.

Dalam keputusasaannya, Agus nyaris terseret ke jurang hutang dari pinjaman online (pinjol). Ia merasa tak punya pilihan lain saat beban keuangan semakin menekan. “Saya pikir ini jalan keluar, tapi ternyata malah menambah beban. Cicilannya lebih dari yang bisa saya bayar dengan gaji bulanan,” kenangnya.

Meski terjebak dengan masalah finansial, Agus tak mau menyerah. Ia mulai mencari cara lain mendapatkan tambahan penghasilan. Di sela-sela kesibukannya sebagai PLD, Agus mengasah kemampuan menulis naskah media lokal. 

Ia juga memberikan les privat kepada anak-anak sekolah di sekitar tempat tinggalnya. Meski hasilnya tak besar, setiap rupiah yang ia peroleh digunakan untuk membayar biaya kuliah yang terus menggunung.

Peran Keluarga, Guru dan Dukungan Masyarakat

“Tanpa dukungan istri, anak-anak, dan guru saya, mungkin saya sudah menyerah,” ujar Agus. Keluarganya menjadi kekuatan terbesar, terutama istrinya yang rela memangkas pengeluaran demi membiayai kuliahnya. Selain itu, sosok penting lainnya adalah Prof. Dr. Adi Fadli, guru spiritualnya. Prof. Adi tak hanya membimbing secara akademik, tetapi juga memberikan nasihat hidup yang mendalam. 

“Kesabaran dan keikhlasan adalah kunci,” katanya, yang terus menjadi pegangan Agus dalam menghadapi kesulitan. Dukungan keluarga dan bimbingan spiritual dari Prof. Adi membuat Agus terus bertahan dan maju, meski tantangan berat kerap menghadang.

Selain keluarga dan gurunya, masyarakat desa di tempatnya bertugas juga sering memberinya semangat. “Banyak warga yang bilang, 'Tetap semangat, Pak! Kami tunggu gelar doktor Bapak.' Itu memberi saya dorongan untuk terus maju. Saya sadar, gelar ini bukan hanya untuk saya pribadi, tapi juga untuk desa yang saya dampingi,” katanya sambil tersenyum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline